“singgah sejenak di beranda facebookmu, hampir sudah dua tahun aku tidak mendengar kabarmu, semoga kamu masih mengingatku”.
Sebaris kalimat aku temukan di profilku, melukiskan kata-kata indah yang dulu pernah aku berikan padamu, ternyata kau masih mengingatnya. Ya , aku membacanya ketika aku sudah terbaring lemah tak berdaya di atas ranjang rumah sakit.
“Hai , apakah kamu masih mengingatku? Tolong jawab pertanyaanku Husna, namamu selalu terlintas di fikiranku, ingin sekali aku mendekapmu seperti dulu”.
Pernyataan ini membuatku semakin diam, aku takut. Waktu ini tinggal satu menit lagi, tapi mengapa kamu terus dan terus melukiskan kisah itu sampai aku terperosok kedalam lubang yang lebih dalam, yang lebih menakutkan dari sebelumnya.
“Husna, tidak kah kau mendengar panggilanku? Tidak kah kau ingat perjalanan – perjalanan indah yang dulu pernah kita lewati. Apakah waktu telah menghapus semua kenangan itu dalam fikiranmu? Apakah kamu tidak bisa merasakan bahwa disini aku begitu merindukanmu?. Sekian lama kamu pergi dariku dengan alasan yang menurutku tidak masuk akal, bahkan saat perpisahan itu terjadi kau hanya mengatakan melalui hp mu bahwa aku disini akan baik-baik saja, dan akan selalu mengingatmu”.
Aku menangis, aku kesal, aku marah, aku kecewa dengan keadaan. Mengapa ini harus terjadi pada kita?. Adakah saat itu kamu menyadari bahwa kepergianku tak ubahnya hanya satu alasan agar kamu tak iba melihatku. Cukuplah aku yang merasakan kesakitan ini.
“Heran aku padamu Husna, dulu kamu yang mampu menguatkan aku, dulu kamu yang selalu mengingatkanku, dulu kamu pun yang mengajari aku arti sebuah kasih sayang dan kesetiaan. Tapi kini semua itu seakan pudar. Aku merasa sangat tidak mengenalmu. Kemana aku harus mencari dirimu yang dulu Husna? Kemana?”.
Sungguh katamu tak kuasa menahan sesak di dadaku. Sampai aku ingin sekali membalas satu dari sekian ribu kata-kata yang kau kirimkan untukku. Cukuplah aku disini baik-baik saja dan masih sangat mengingatmu. Kisah kita yang dulu akan aku kubur bersama dengan pilu hatiku. Lupakan aku sobat, karena aku tak ayal hanyalah benalu yang membebani fikiran dan hidupmu.
“Husna, mengapa yang aku dengar hanyalah kata-kata kosong darimu, kamu bohong! Kamu bohong!. Bukankah dulu kita pernah berjanji satu sama lain untuk selalu menjaga kesetiaan kita dalam tali illahi ini, tapi mengapa kini kau pula yang mengingkarinya?. Salahkah jika kini aku marah padamu karena kamu sudah tidak menganggap keberadaanku”.
Aku sungguh menyayangimu, tidak pernah terlintas sedikit pun dibenakku untuk saling menikam satu sama lain bahkan sampai separah ini. Sungguh beban yang aku rasa ini tidak mungkin aku bagi denganmu, dan aku mohon padamu jangan lagi kau terjemahkan kata-kata indah itu, karena semua itu tidak dapat mengubah waktu dan kenyataan akan kepergianku. Cukup mendengar kau masih mengingatku adalah satu hadiah terindah sebelum aku pergi, maafkan aku yang sudah menanamkan duri di hatimu.
Dan tak lama kemudian,
“Husna, tak sedikit pun aku mengerti akan kata-katamu. Tapi mungkin inilah jalan takdir persahabatan kita. Aku mulai mengerti akan dirimu, kau lebih memilih perpisahan ini. Meskipun ini lebih menyakitkan.
Seminggu kemudian,
“Aku mencoba berkunjung ke rumahmu, semoga saja aku bisa mendapatkan info tentang dirimu. Tapi belum sempat aku masuk ke rumahmu. Ya, air mata ini jatuh tak tertahankan, aku melihat ada bendera kuning yang terpampang di halaman depan rumahmu. Kini aku lebih mengerti dari sebelumnya. Aku bodoh, sahabat seperti apa aku ini yang tidak tau bahwa sahabatnya sedang terbaring lemah di atas ranjang yang pilu. Bahkan sampai dia sudah menutup mata aku masih saja melontarkan kalimat-kalimat marahku padanya. Keadaan pun telah menjelaskan padaku arti kediamanmu selama ini. Maafkan aku Husna, maafkan aku. Tidak ada niat sedikit pun untuk menyakiti hatimu. Mengertilah Husna, walaupun keadaan memisahkan jarak antara kita berdua, tapi persahabatan ini tidak akan terhapus oleh derasnya ombak dan hantaman angin sekali pun. Tak ada kata pengantar yang dapat mengiringi kepergianmu, hanyalah sebait doa “ Ya allah, tempatkannya di tempat yang mulia, tempat yang dikau janjikan nikmat untuk hambamu. Sahabatku akan ku teruskan perjuangan ini, walau ku tau kau tiada disisi”. Selamat jalan Husna, semoga allah mempertemukan kita di jannahnya dan tali illahi inilah yang akan indah pada waktunya”.
Komentar