BAB I
PENDAHULUAN
Ø
Latar Belakang Masalah
Sebagai seorang muslim kita dituntut untuk menguasai segala
aspek yang berhubungan dengan pengamalan ibadah dalam agama, baik yang sifatnya
wajib maupun sunnah. Hal inilah yang berkaitan erat dengan syariat Islam.
Syariat yang mana setiap muslim harus memahami konsep ajarannya dan
mengaplikasikan dengan mempraktikan secara riil dalam kehidupan. Namun, tak
sedikit dari ummat muslim yang hanya mempu melakukan syariat-syariat tanpa
memahami apa sejatinya makna yang terselip di setiap syariat-syariat tersebut.
Tujuan apa yang harus dimengerti dengan adanya sebuah syariat dan apakah tugas
kita sebagai seorang muslim hanya berstatus menggugurkan kewajiban dalam
melakukannya tanpa ada efek yang berdampak positif bagi kehidupan seperti
halnya bertambah iman dan khusnul khotimah. Di sinilah titik acuan yang kami
jadikan latar belakang dalam pembuatan makalah ini. Menjadikan syariat sebagai
pengaplikasian diri sebagai seorang muslim yang berstatus Mukallaf. Sebagai
seorang mukallaf, kita diwajibkan untuk mengetahui lebih detail mengenai
konsep-konsep yang ada dalam syariat, baik hukum yang wajib dilakukan, wajib
ditinggalkan, sunnah dilakukan, sunnah ditinggalkan bahkan hukum yang
diperbolehkan dalam melakukannya. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai
siapakan sumber segala hukum dan siapakan pula yang menjadi objek dari hukum
tersebut serta syarat dan macam-macamnya.
1.
Pengertian Mahkum Fih
2.
Syarat – syarat Mahkum Fih
3.
Macam – macam Mahkum Fih
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Mahkum Fih
Menurut ulama Ushul Fiqh yang dimaksud
dengan mahkum fih adalah objek hukum, yakni perbuatan seorang mukkalaf yang
terkait dengan perintah syar’i (Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat
tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; memilih suatu pekerjaan; dan yang
bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah
syar’i itu ada objeknya, yakni perbatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan
mukallaf tersebut ditetapkanlah suatu hukum, misalnya :
a.
Firman Allah SWT, dalam Surat Al – Baqarah : 43
(#qßJÏ%r&ur
n o4qn=¢Á9$#
………………
Artinya : Dirikanlah Shalat ……… (Q.S Al – Baqarah :
43)
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yakni
tuntutan untuk mengerjakan shalat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan
shalat.
a.
Firman Allah SWT, dalam Surat Al – An’am : 151
( ( wur
(#qè=çGø)s?
[øÿ¨Z9$#
ÓÉL©9$#
tP§ym
ª!$#
wÎ)
Èd,ysø9$$Î/
............................. ÇÊÎÊÈ
Artinya :
“janganlah kamu membunuh Jiwa yang telah di haramkan
Allah melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar….” (Q.S Al – AN’am : 151 )
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang
terkait dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan
tanpa hak, maka membunuh tanpa haq itu hukumnya haram.
Dengan beberapa contoh diatas, dapat diketahui bahwa
objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf. Berdasarkan hal itu, ulama Ushul
Fiqh menetapkan kaidah “Tidak ada taklif (pembebanan hukum) melainkan terhadap
perbuatan”. Kaidah tersebut diseapakati oleh sebagian besar ulama Ushul.
2.
Syarat – syarat Mahkum
Fih
Para Ulama Ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya
suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu :
a)
Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan,
sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan. Maka
seseorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan shalat misalnya,
sebelum dia tahu persis rukun, syarat dan cara-cara tersebut.
b)
Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang
harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga ia melaksanakannya
berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah Allah semata. Adapun yang
dimaksud dengan pengetahuan mukallaf tentang apa yang di tuntut kepadanya
adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan bukan kemampuan untuk
melaksanakannya.
Dan diantara sebab adanya pernyataan di mungkinkan
mengetahui hukum, karena apabila di syaratkan seorang mukallaf harus mengetahui
tuntutan yang di bebankan kepadanya, maka perbuatan yang harus di lakukan itu
tidak akan terwujud.
c)
Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau
ditinggalkan, berkaitan dengan hal ini, terdapat beberapa syarat, antara lain :
1.
Tidaklah sah suatu tuntutan yang di nyatakan
mustahil untuk dikerjakan atau ditinggalkan berdasarkan kesepakatan jumhur
ulama, baik berdasarkan zatnya ataupun kemustahilan itu dilihat dari luar
zatnya.
Contoh : yang mustahil berdasarkan zatnya sendiri
adalah berkumpulnya antara perintah dan larangan dalam suatu tuntutan dan dalam
waktu yang bersamaan.
Sedangkan yang kemustahilannya berdasarkan dari luar
zatnya adalah sesuatu yang bisa digambarkan berdasarkan akal, namun menurit
kebiasaan tidak mungkin dilakukan, misalnya menyuruh manusia terbang tanpa
sayap dan lainnya.
2.
Para ulama ushul fiqh menyatakan tidak sah hukumnya
seseorang melakukan peruatan yang di taklifi-kan untuk dan atas nama orang
lain. Oleh karena itu, seseorang tidak dibenarkan melakukan shalat untuk
menggantikan saudaranya, atau menunaikan zakat menggantikan bapaknya. Golongan
Asy-‘ari berpendapat bahwa dibolehkannya menggantikan kewajiban orang lain yang
berhubungan dengan badan adalah berlawanan dengan pendapat mu’tazilah, seperti
dibolehkannya melaksanakan haji untuk orang lain.bahkan golongan Syafi’I , Al –
Auja’I dan Hambali memperbolehkan wali mengganti puasa untuk orang yang sudah
meninggal. Diantara alasan mereka adalah :
Artinya : “Siapa yang meninggal dunia
dan ia berutang puasa, maka walinya berkewajiban mengerjakan puasa itu. ( HR.
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad Ibn Hambal).
3.
Tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara
yang berhubungan dengan fitrah manusia, seperti gembira, marah, takut dan
sebagainya karena hal itu berada diluar kendali manusia. Dengan demikian,
walaupun ada tuntutan nash yang berkaitan dengan hal tersebut, maka nash itu
dipalingkan dari makna dzahirnya kepada sebab dan akibatnya.
4.
Tercapainya syarat taklif tersebut, seperti syarat
iman dalam masalah ibadah dan bersuci dalam shalat. Dalam hal ini , terdapat
perbedaan pendapat ulama Ushul Fiqh yaitu permasalahan apakah orang kafir
dibebani taklif untuk melaksanakan hukum syara’ sekalipun dalam masalah
keimanan mereka dibebani taklif?
Dalam hal ini ada golongan :
a)
Menurut jumhur ulama Asyariyah, Mu’tazilah dan orang-orang
Iraq, bahwa sampainya syarat-syarat bukanlah syarat dalam tuntutan, tidak pula
disyaratkan dalam tuntutan dengan tindakan, yakni syarat itu dihasilkan ketika
dilaksanakannya tuntutan. Maka orang kafir jelas diharuskan untuk melaksanakan
tuntutan dan mendapat siksa bila tidak melaksanakan tuntutan tersebut.
b)
Golongan Jumhur hanafi dan Abu hamid Al – Asfarayini
dari madzhab syafi’i berpendapat bahwa terpenuhinya syarat syara’ merupakan
syarat dalam tuntutan.
2.1
Al – Masyaqqah
Masyaqqah itu terbagi
dalam dua bagian :
Masyaqqah
mu’tadah, adalah kesulitan yang mampu di atasi oleh manusia tanpa menimbulkan
bahaya bagi dirinya. Kesulitan seperti ini tidak bias dijadikan alas an untuk
tidak mengerjakan taklif, karena setiap perbuatan itu tidak mungkin terlepas
dari kesulitan dalam melaksanakannya.
Masyaqqah ghairu
mu’tadah , (kesulitan yang tidak wajar) adalah suatu kesulitan yang diluar
kekuasaan manusia dalam mengatasinya akan merusak jiwanya bila dipaksakan. Hal
ini terjadi, biasanya apabila melebih – lebihkan perbuatan yang sebenarnya
bermanfaat.
1)
Ayat – ayata Al – Qur’an yang berbicara tentang
menghilangkan kesulitan dan kesempitan dalam syara’, seperti :
a.
Dalam surat Al – hajj : 78
uqèd
öNä38u;tFô_$#
$tBur
@yèy_
ö/ä3øn=tæ
Îû
ÈûïÏd9$#
ô`ÏB
8ltym
........................ (78)
Artinya : Dia
telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama
suatu kesempitan…... ( Q.S Al Hajj : 78 )
3. Macam – macam mahkum fih
Para ulama Ushul
Fiqh membagi mahkum fih dari dua segi, yaitu : dari segi keberadaanya secara
material dan syara’ serta dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu
sendiri.
Dari segi
keberadaannya secara material dan syara’ , mahkum fih terdiri atas :
a. Perbuatan yang
secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan
syara’, seperti makan dan minum. Makan dan minum adalah perbuatan mukallaf,
tetapi perbuatan makan itu tidak terkait dengan hukum syara’.
b. Perbuatan yang
secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan
syarat yang ditentutkan, seperti shalat dan zakat.
c. Perbuatan yang
secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’ seperti perzinaan
dll. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syara’ yaitu hudud dan qhisash.
d. Perbuatan yang
secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hukum syara’
yang lain, seperti nikah, jual beli dan sewa – menyewa.
Dari segi hak
yang terdapat dalam perbuatan itu, maka mahkum fih dibagi dalam empat bentuk,
yaitu :
a.
Semata – mata hal Allah, yaitu segala sesuatu yang
menyangkut kepentingan dan kemashlahatan umum tanpa kecuali. Hak sifatnya
semata- mata hak Allah ini, menurut ulama Ushul Fiqh ada delapan macam :
1.
Ibadah Mahdah (murni), seperti iman dan rukun islam
yang ijma.
2.
Ibadah yang didalamnya mengandung makna pemberian
dan santunan, seperti zakat fitrah dll.
3.
Bantuan/santunan yang mengandung makna ibadah,
seperti zakat hasil yang dikeluarkan oleh bumi.
4.
Biaya/santunan yang mengandung makna hukuman,
seperti kharaj.
5.
Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak
pidana.
6.
Hukuman yang tidak sempurna.
7.
Hukuman yang mengandung makna ibadah.
8.
Ha- hak yang harus dibayarkan.
b.
Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi
seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang
yang tidak rusak.
c.
Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi
hak allah didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana.
d.
Kompromi antara hak Allahdan hak hamba, tetapi hak
hamba di dalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qhisah.
Komentar