Langsung ke konten utama

Mahkum Fih (SMT 4)

BAB I
PENDAHULUAN

Ø  Latar Belakang Masalah
Sebagai seorang muslim kita dituntut untuk menguasai segala aspek yang berhubungan dengan pengamalan ibadah dalam agama, baik yang sifatnya wajib maupun sunnah. Hal inilah yang berkaitan erat dengan syariat Islam. Syariat yang mana setiap muslim harus memahami konsep ajarannya dan mengaplikasikan dengan mempraktikan secara riil dalam kehidupan. Namun, tak sedikit dari ummat muslim yang hanya mempu melakukan syariat-syariat tanpa memahami apa sejatinya makna yang terselip di setiap syariat-syariat tersebut. Tujuan apa yang harus dimengerti dengan adanya sebuah syariat dan apakah tugas kita sebagai seorang muslim hanya berstatus menggugurkan kewajiban dalam melakukannya tanpa ada efek yang berdampak positif bagi kehidupan seperti halnya bertambah iman dan khusnul khotimah. Di sinilah titik acuan yang kami jadikan latar belakang dalam pembuatan makalah ini. Menjadikan syariat sebagai pengaplikasian diri sebagai seorang muslim yang berstatus Mukallaf. Sebagai seorang mukallaf, kita diwajibkan untuk mengetahui lebih detail mengenai konsep-konsep yang ada dalam syariat, baik hukum yang wajib dilakukan, wajib ditinggalkan, sunnah dilakukan, sunnah ditinggalkan bahkan hukum yang diperbolehkan dalam melakukannya. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai siapakan sumber segala hukum dan siapakan pula yang menjadi objek dari hukum tersebut serta syarat dan macam-macamnya. 

Ø  Rumusan Masalah
1.      Pengertian Mahkum Fih
2.      Syarat – syarat Mahkum Fih
3.      Macam – macam Mahkum Fih


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Mahkum Fih
Menurut ulama Ushul Fiqh yang dimaksud dengan mahkum fih adalah objek hukum, yakni perbuatan seorang mukkalaf yang terkait dengan perintah syar’i (Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; memilih suatu pekerjaan; dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni perbatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkanlah suatu hukum, misalnya :
a.       Firman Allah SWT, dalam Surat Al – Baqarah : 43
(#qßJŠÏ%r&ur n o4qn=¢Á9$# ……………… 
Artinya : Dirikanlah Shalat ……… (Q.S Al – Baqarah : 43)
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan shalat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan shalat.
a.       Firman Allah SWT, dalam Surat Al – An’am : 151
( Ÿ( Ÿwur (#qè=çGø)s? š[øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ ............................. ÇÊÎÊÈ 
Artinya :
“janganlah kamu membunuh Jiwa yang telah di haramkan Allah melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar….” (Q.S Al – AN’am : 151 )
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh tanpa haq itu hukumnya haram.
Dengan beberapa contoh diatas, dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf. Berdasarkan hal itu, ulama Ushul Fiqh menetapkan kaidah “Tidak ada taklif (pembebanan hukum) melainkan terhadap perbuatan”. Kaidah tersebut diseapakati oleh sebagian besar ulama Ushul.




2.      Syarat – syarat Mahkum Fih
Para Ulama Ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu :
a)      Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan. Maka seseorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan shalat misalnya, sebelum dia tahu persis rukun, syarat dan cara-cara tersebut.
b)      Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah Allah semata. Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf tentang apa yang di tuntut kepadanya adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan bukan kemampuan untuk melaksanakannya.
Dan diantara sebab adanya pernyataan di mungkinkan mengetahui hukum, karena apabila di syaratkan seorang mukallaf harus mengetahui tuntutan yang di bebankan kepadanya, maka perbuatan yang harus di lakukan itu tidak akan terwujud.
c)      Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan, berkaitan dengan hal ini, terdapat beberapa syarat, antara lain :
1.      Tidaklah sah suatu tuntutan yang di nyatakan mustahil untuk dikerjakan atau ditinggalkan berdasarkan kesepakatan jumhur ulama, baik berdasarkan zatnya ataupun kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya.
Contoh : yang mustahil berdasarkan zatnya sendiri adalah berkumpulnya antara perintah dan larangan dalam suatu tuntutan dan dalam waktu yang bersamaan.
Sedangkan yang kemustahilannya berdasarkan dari luar zatnya adalah sesuatu yang bisa digambarkan berdasarkan akal, namun menurit kebiasaan tidak mungkin dilakukan, misalnya menyuruh manusia terbang tanpa sayap dan lainnya.
2.      Para ulama ushul fiqh menyatakan tidak sah hukumnya seseorang melakukan peruatan yang di taklifi-kan untuk dan atas nama orang lain. Oleh karena itu, seseorang tidak dibenarkan melakukan shalat untuk menggantikan saudaranya, atau menunaikan zakat menggantikan bapaknya. Golongan Asy-‘ari berpendapat bahwa dibolehkannya menggantikan kewajiban orang lain yang berhubungan dengan badan adalah berlawanan dengan pendapat mu’tazilah, seperti dibolehkannya melaksanakan haji untuk orang lain.bahkan golongan Syafi’I , Al – Auja’I dan Hambali memperbolehkan wali mengganti puasa untuk orang yang sudah meninggal. Diantara alasan mereka adalah :
Artinya : “Siapa yang meninggal dunia dan ia berutang puasa, maka walinya berkewajiban mengerjakan puasa itu. ( HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad Ibn Hambal).
3.      Tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia, seperti gembira, marah, takut dan sebagainya karena hal itu berada diluar kendali manusia. Dengan demikian, walaupun ada tuntutan nash yang berkaitan dengan hal tersebut, maka nash itu dipalingkan dari makna dzahirnya kepada sebab dan akibatnya.
4.      Tercapainya syarat taklif tersebut, seperti syarat iman dalam masalah ibadah dan bersuci dalam shalat. Dalam hal ini , terdapat perbedaan pendapat ulama Ushul Fiqh yaitu permasalahan apakah orang kafir dibebani taklif untuk melaksanakan hukum syara’ sekalipun dalam masalah keimanan mereka dibebani taklif?
Dalam hal ini ada golongan :
a)      Menurut jumhur ulama Asyariyah, Mu’tazilah dan orang-orang Iraq, bahwa sampainya syarat-syarat bukanlah syarat dalam tuntutan, tidak pula disyaratkan dalam tuntutan dengan tindakan, yakni syarat itu dihasilkan ketika dilaksanakannya tuntutan. Maka orang kafir jelas diharuskan untuk melaksanakan tuntutan dan mendapat siksa bila tidak melaksanakan tuntutan tersebut.
b)      Golongan Jumhur hanafi dan Abu hamid Al – Asfarayini dari madzhab syafi’i berpendapat bahwa terpenuhinya syarat syara’ merupakan syarat dalam tuntutan.

2.1 Al – Masyaqqah
Masyaqqah itu terbagi dalam dua bagian :
Masyaqqah mu’tadah, adalah kesulitan yang mampu di atasi oleh manusia tanpa menimbulkan bahaya bagi dirinya. Kesulitan seperti ini tidak bias dijadikan alas an untuk tidak mengerjakan taklif, karena setiap perbuatan itu tidak mungkin terlepas dari kesulitan dalam melaksanakannya.
Masyaqqah ghairu mu’tadah , (kesulitan yang tidak wajar) adalah suatu kesulitan yang diluar kekuasaan manusia dalam mengatasinya akan merusak jiwanya bila dipaksakan. Hal ini terjadi, biasanya apabila melebih – lebihkan perbuatan yang sebenarnya bermanfaat.
1)      Ayat – ayata Al – Qur’an yang berbicara tentang menghilangkan kesulitan dan kesempitan dalam syara’, seperti :


a.       Dalam surat Al – hajj : 78
uqèd öNä38u;tFô_$# $tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym ........................ (78)
Artinya : Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…... ( Q.S Al Hajj : 78 )

3.      Macam – macam mahkum fih
Para ulama Ushul Fiqh membagi mahkum fih dari dua segi, yaitu : dari segi keberadaanya secara material dan syara’ serta dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri.
Dari segi keberadaannya secara material dan syara’ , mahkum fih terdiri atas :
a.       Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’, seperti makan dan minum. Makan dan minum adalah perbuatan mukallaf, tetapi perbuatan makan itu tidak terkait dengan hukum syara’.
b.      Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentutkan, seperti shalat dan zakat.
c.       Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’ seperti perzinaan dll. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syara’ yaitu hudud dan qhisash.
d.      Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli dan sewa – menyewa.
Dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, maka mahkum fih dibagi dalam empat bentuk, yaitu :
a.       Semata – mata hal Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemashlahatan umum tanpa kecuali. Hak sifatnya semata- mata hak Allah ini, menurut ulama Ushul Fiqh ada delapan macam :
1.      Ibadah Mahdah (murni), seperti iman dan rukun islam yang ijma.
2.      Ibadah yang didalamnya mengandung makna pemberian dan santunan, seperti zakat fitrah dll.
3.      Bantuan/santunan yang mengandung makna ibadah, seperti zakat hasil yang dikeluarkan oleh bumi.
4.      Biaya/santunan yang mengandung makna hukuman, seperti kharaj.
5.      Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana.
6.      Hukuman yang tidak sempurna.
7.      Hukuman yang mengandung makna ibadah.
8.      Ha- hak yang harus dibayarkan.
b.      Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta  seseorang yang tidak rusak.
c.       Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak allah didalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana.

d.      Kompromi antara hak Allahdan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qhisah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Sifat-Sifat Huruf

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Al-quran sebagai kitab yang berisi firman-firman Allah SWT. Sebagai umat islam sudah seharusnya kita menjaga kitab yang menjadi pedoman umat islam. Al-qur’an merupakan kalamullah maka dalah segi pembacaannya mempunyai tatacara membacanya dalam arti kata kita mengetahui ilmunya agar tidak terjadi salah arti dalam membaca Al—Qur’an serta bacaannya haruslah tartil. Atas dasar tersebut para ulama menciptakan sebuah disiplin ilmu dalam membaca Al-Qur’an yatu Ilmu Tajwid. Ilmu tajwid di dalamnya menerangkan hukum-hukum bacaan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam ilmu tajwid juga di bahas mengenai makhorijul huruf agar dalam segi pembacaannya ada perbadaan dalam semua huruf hijahiyah. Huruf hijahiyah mempunyai sifatul huruf dan sifat itulah yang membedakan masing-masing huruf hijahiyah. B.        Rumusan Masalah 1.       Ada berapa sifat-sifat huruf? 2.       Bagaimana cara mengucapkan atau melafalkan sifat-sifat huruf? BAB II

PIDATO ILMU SEPANJANG MASA

Assalamu’alaikum Wr Wb "Alhamdulillahi robbil alamin, wasshalaatu wassalaamu alaa asrafil anbiyaa' i  wal mursaliin wa'ala aalihi wasohbihi ajma'in, (amma ba'du)". “Rabbi Shohri Shodri Wayasyirli ‘Amri Wahlul Uqdatammillisani Yafqohu Qouli” ·          Kepada dewan juri yang saya hormati ·          Dan kepada hadirin yang di muliakan Allah SWT Marilah kita bersama-sama MengAgungkan Asma Allah SWT dengan memanjatkan Puji Syukur atas segala rahmat dan pengampunan_-Nya. Shalawat beserta salam semoga tetap terlimpah ruahkan kepada kita semua melalui panutan kita, sang pembawa zaman, pencerah dunia yakni Habibana Wannabiyana Muhammad SAW, dan semoga syafaatnya sampai kepada kita hingga akhir zaman. Aamiin Hadirin yang dimuliakan Allah SWT Saya berdiri di hadapan bapak dan ibu disii bukan untuk promosi bukan pula untuk berdakwah seperti layaknya kyai dan tokoh ulama negeri ini. Tapi sih kalo ada bau-bau kyai saya mau. Aamiin. Namun berdirinya saya

Makalah Peran dan Fungsi Media Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Media pembelajaran memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Penggunaan media pembelajaran yang kaya dan bervariasi, tidak saja membuat motivasi belajar meningkat, tetapi juga menjadikan hasil belajar lebih bermakna. Media pembelajaran dapat dimaknai sebagai semua bentuk perantara yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan atau menyebar ide, gagasan, atau pendapat sehingga ide, gagasan atau pendapat yang dikemukakan itu sampai kepada penerima yang dituju. Penggunaan media atau alat bantu disadari oleh banyak praktisi pendidikan sangat membantu aktivitas proses pembelajaran baik didalam maupun diluar kelas, terutama membantu dalam peningkatan prestasi belajar siswa dan membantu juga dalam pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Namun, dalam implementasinya tidak banyak guru yang memanfaatkannya, bahkan penggunaan metode ceramah (lecture method) monoton masih cukup populer dikalangan guru da