BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sudah menjadi kodrat alam, sejak
dilahirkan manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya di dalam suatu
pergaulan hidup. Hidup bersama manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun rohani.
Hidup bersama antara seorang pria
dan wanita tersebut mempunyai akibat yang sangat penting dalam masyarakat, baik
terhadap kedua belah pihak maupun terhadap keturunannya serta anggota
masyarakat lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan yang mengatur
tentang hidup bersama tersebut.Dengan demikian sejak dulu kala hubungan pria
dan wanita dalam perkawinan telah dikenal, walaupun dalam sistem yang beraneka
ragam, mulai dari yang bersifat sederhana sampai kepada masyarakat yang berbudaya
tinggi, baik yang pengaturannya melalui lembaga-lembaga masyarakat adat maupun
denganperaturan perundangan yang dibentuk melalui lembaga kenegaraan serta
ketentuan-ketentuan yang digariskan agama.
Berkaitan dengan kawin mut’ah atau
kawin kontrak yang banyak terjadi di Indonesia dan fatwa MUI yang
mengharamkan adanya nikah mut’ah, namun masih banyak sebagian masyarakat
yang melakukan nikah mut’ah dengan tujuan hanya untuk mensejahterakan
kehidupannya tanpa berbuat zina, dan untuk mengkaji sejauh mana perkembangan
nikah mut’ah ini maka kami pemakalah mengkaji tentang nikah mut’ah.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian
Nikah Mut’ah?
2. Bagaimana hukum
nikah Mut’ah?
3. Bagaimana nikah
Mut’ah menurut Undang-Undang?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian Nikah Mut’ah
2. Untuk mengetahui
hukum nikah Mut’ah
3. Untuk
mengetahui nikah Mut’ah menurut Undang-Undang
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Nikah Mut’ah (Kawin
Kontrak Sementara)
Kawin kontrak atau kawin perjanjian. Kamus arab
mendefinisikan mut’ah sebagai “kesenangan, kegembiraan, kesukaan”.
Kawin mut’ah merupakan bentuk perkawinan haram yang dijalankan dalam waktu
singkat untuk mendapatkan sesuatu yang telah ditentukan. Perkawinan mut’ah
adalah ikatan tali perkawinan antara seorang laki- laki dan wanita, dengan
mahar yang telah disepakati, yang disebut dalam akad, sampai pada batas waktu
yang telah ditentukan. Dengan berlalunya waktu yang telah disepakati, atau
pengurangan batas waktu yang diberikan oleh laki- laki, maka berakhirlah ikatan
pernikahan tersebut tanpa memerlukan proses perceraiaan.
Ibnu Qudaimah mengatakan:
نِكَاحُ الْمُتْعَةِ اَنْ يَّتَزَوَّجَ الْمَرْاَةَ مُدَّةً مِثْلَ
اَنْ يَّقُوْلَ زَوَّجْتُكَ اِبْنَتِى شَهْرًا اَوْ سَنَةً اَوْ اِلَى ِانْقِضَاءِ
الْمُوْسِمِ اَوْ قُدُوْمِ الْحَاجِ وَشِبْهِهِ سَوَاءٌ كَا نَتْ الْمُدَّةُ
مَعْلُوْمَةً اَوْ مَجْهُوْلَةً
artinya “nikah Mut’ah adalah
seseorang mengawini wanita (dengan terikat) hanya waktu tertentu saja, misalnya
(seorang wali) mengatakan: saya mengawinakan putriku dengan engkau selama
sebulan, atau setahun, atau habis musim ini, atau sampai berakhir perjalanan
haji ini dan sebagainya. Sama halnya dengan waktu yang telah ditentukan atau yang
belum ”
Sayyid Saabiq mengatakan :
نِكَاحُ الرَّجُلُ عَلَى الْمَرْاَةِ يَوْمًا اَوْ اَسْبُوعًا اَوْ
شَهْرًا وَيُسَمَّى بِالْمُتْعَةِ لِآَنَّ الرَّجُلَ يَنْتَفِعُ وَيَتَبَلَّغَ
بِالزِّواجِ وَيَتَمَتَّعٌ اِلَى الْاَ جَلِ الَّذِي وَقْتُهُ
Artinya “perkawinan Mut’ah adalah adanya seorang pria
mengawi wanita selama sehari, atau seminggu. Dan dinamakan mut’ah karena laki-
laki mengambil manfaat serta merasa cukup dengan melangsungkan perkawinan
dengan bersenang- senang sampai kepada waktu yang telah ditentukan ”
Bertolak dari definisi di atas, maka penulis menarik suatu
pengertian bahwa nikah mut’ah adalah suatu ikatan perkawinan yang terikat
dengan waktu tertentu, sehingga bila waktu tersebut sudah habis, maka perempuan
yang telah dikawini itu dinyatakan tertalak.
2.
Hukum Nikah Mut’ah Dalam Islam
Kawin mut’ah diperbolehkan pada masa awal pada pembentukan
ajaran Islam, sebelum Syari’ah Islam ditetapkan secara lengkap sempurna. Kawin
mut’ah diperbolehkan di hari- hari awal ketika seseorang melakukan perjalanan
atau orang- orang sedang berperang melawan musuh. Alasan dibolehkannya Mut’ah
adalah orang- orang yang masuk Islam dahulu, adalah tengah dalam proses
peralihan zaman dari Jahiliah ke zaman Islam. Pada zaman Jahiliah, zina
merupakan hal yang sangat wajar sampai tidak dianggap berdosa.
Lalu turun larangan Islam tentang hubungan riba dan minuman
keras secara bertahap karena masyarakat sudah sangat akrab dengan riba dan minuman
keras tersebut. Sementara kawin Mut’ah hanya diperbolehkan di masa- masa awal
Islam karena orang- orang berjuang dimedan laga atau “Ghazwah”. Mereka yang
imanya masih lemah mencoba melakukajn zina dimasa perang. Sedang orang yang
kuat imanya menekan keinginannya dengan keras untuk mengendalikan hawa
nafsunya. Abdullah bin Mas’ud pernah berkata sebagai berikut: “kami pernah
berperang bersama Rasulallah SAW. Dan kami tidak menyertakan kaum perempuan.
Maka kami bertanya kepada beliau, akapah kami boleh mengebiri diri,
Rasulallha SAW melarang kami melakukan pengebiran itu, dan mengizini kami
mengawini perempuan untuk sementara waktu dengan memberikan pakaian”.
Diriwayatkan pula oleh Ali bin Abi Thalib; “Aku menjalankan
kepada Ibnu Abbas pada waktu perang Khibar”
اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الْمُتْعَةِ وَعَنْ لُحُوْمِ الْحُوْرِ الْأَلْيَةِ زَمَنَ خَبِيْرٍ
“Sesungguhnya Rasulullah SAW.
Melarang kawin Mut’ah dan memakan daging keledai ” (H.R Bukhari).
Setelah Syari’ah sempurna, kawin Mut’ah di haramkan. Izin kawin sementara
karena keadaan memaksa yang telah diberikan Nabi itu segera dikharamkan setelah
pembukaan kota Makkah, sebagaimana diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib.
أَنَّهُ عَزًا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى فُتْحِ مَكَّةَ فَأَذَّنَ لَهُمْ فِى مُتْعَةِ النِّسَاءِ
فَقَالَ : فَلَمْ يَخْرُجْ حَتَّى حَرَمَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
“Sesungguhnya dia beserta Nabi SAW. Ketika terjadi
pertempuran untuk membuka kota Makkah. Nabi SAW. Mengizinkan para sahabat untuk
kawin Mut’ah. Lalu Ali berkata: “Maka Nabi SAW tidak keluar dari kota Makkah
itu sampai beliau mengharamkannya.”
Islam inggin membangun sebuah masyarakat yang sejahtera.
Kawin Mut’ah jika dibolehkan, dapat menimbulkan lebih banyak masalah ketimbang
yang dapat dipecahkannya. Bila kawin Mut’ah itu tidak dilarang, akan
menimbulkan pelacuran. Para ulama telah sepakat menyatakan bahwa Kawin Mut’ah
itu dikharamkan. Hanya pendapat Abdullah Bin Abbas yang bertentangan
dengan kesepakatan ini. Namun segera setelah melihat kawatnya keadaan dan
orang- orang menyalahgunakan perkawinan Mut’ah ini yang hanya diperbolehkan di
lingkungan wilayah pertempuran yang bergolak, tak lama kemudian dia
mengharamkannya. (diriwayatkan oleh Bukhari).
3.
Nikah Mut’ah Di Tinjau dari UU
No.1 TAHUN 1974
Perkawinan menurut UU No.1 tahun 1974 adalah ikatan lahir
batin diantara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, sehingga perkawinan merupakan salah satu tujuan hidup manusia untuk
mencapai kebahagiaan lahir dan batin, khususnya dalam rangka melanjutkan atau
meneruskan keturunan dan diharapkan pula dengan adanya perkawinan mampu
mewujudkan masyarakat yang sejahtera baik lahir maupun batin. Dalam
perkembangan masyarakat sekarang ini, munculah istilah nikah mut’ah atau dalam
bahasa indonesianya kawin kontrak. Nikah mut’ah atau kawin kontrak tidak diatur
dalam UU No.1 tahun 1974, karena nikah mut’ah merupakan sebuah fenomena
baru dalam masyarakat. Nikah mut’ah menggambarkan sebuah perkawinan yang
didasarkan pada kontrak atau kesepakatan-kesepakatan tertentu, yang mengatur
mengenai jangka waktu perkawinan, imbalan bagi salah satu pihak, hak dan kewajiban
masing-masing pihak, dan lain-lain. Nikah mut’ah merupakan perkawinan yang
bersifat sementara, dan sangat menonjolkan nilai ekonomi, menyebabkan
perkawinan ini berbeda dengan perkawinan.
Pada umumnya, sehingga nikah mut’ah dianggap menyimpang dari
tujuan perkawinan yang mulia. Kawin kontrak (Nikah mut’ah) merupakan perkawinan
berdasarkan kontrak yang dalam pelaksanaannya bersifat sementara, dan lebih
menonjolkan nilai ekonomi, sehingga sangat bertentangan dengan perkawinan yang
dikonsepkan dalam UU No.1 tahun 1974. Pelaksanaan kawin kontrak sangat
bertentangan dengan asas-asas perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974. Beberapa
asas tersebut diantaranya adalah:
Tujuan perkawinan
Menurut UU No.1 tahun 1974, setiap perkawinan harus
mempunyai tujuan membentuk keluarga/rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang tidak mempunyai tujuan ini, bukan
perkawinan dalam arti yang dimaksud dalam UU No.1 tahun 1974 Pelaksanaan kawin
kontrak sangat bertentangan dengan tujuan perkawinan dalam UU No.1 tahun 1974.
Kawin kontrak hanya bertujuan untuk menyalurkan kebutuhan
biologis tanpa disertai keinginan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan
kekal, serta sangat mengharapkan keuntungan secara ekonomi dari dilaksanakannya
perkawinan, selain itu memiliki keturunan bukan merupakan tujuan utama dalam
kawin kontrak.
BAB III
KESIMPULAN
Perkawinan mut’ah adalah ikatan tali
perkawinan antara seorang laki- laki dan wanita, dengan mahar yang telah
disepakati, yang disebut dalam akad, sampai pada batas waktu yang telah
ditentukan. Dengan
berlalunya waktu yang telah disepakati, atau pengurangan batas waktu yang
diberikan oleh laki- laki, maka berakhirlah ikatan pernikahan tersebut tanpa
memerlukan proses perceraiaan.
Hukum nikah mut’ah haram , Diriwayatkan
pula oleh Ali bin Abi Thalib; “Aku menjalankan kepada Ibnu Abbas pada waktu
perang Khibar” , “Sesungguhnya Rasulullah SAW. Melarang kawin Mut’ah dan memakan
daging keledai ” (H.R Bukhari).
Komentar