Kata Pengantar
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, sang pencipta alam semesta,
manusia, dan kehidupan beserta seperangkat aturan-Nya, karena berkat limpahan
rahmat, taufiq, hidayah serta inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “Al-Ghazali” yang sederhana ini dapat
terselesaikan tidak kurang daripada waktunya.
Maksud dan
tujuan dari pembuatan makalah ini tidaklah lain untuk memenuhi salah satu dari
sekian kewajiban mata kuliah Filsafat Umum serta merupakan bentuk langsung
tanggung jawab kelompok pada tugas yang diberikan.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Bpk. H. Sya’roni ma’sum Drs., MM. selaku dosen mata kuliah
Filsafat Umum serta semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Demikian pengantar yang dapat kami sampaikan dimana kami pun sadar
bawasannya kami hanyalah seorang manusia yang tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik Allah Azza Wa’jala hingga dalam
penulisan dan penyusununnya masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa kami nanti dalam upaya
evaluasi diri.
Akhirnya penulis hanya bisa berharap, bahwa dibalik ketidak sempurnaan kami
dan penyusunan makalah ini adalah ditemukan sesuatu yang dapat memberikan
manfaat atau bahkan hikmah bagi penulis, pembaca, dan bagi seluruh
mahasiswa-mahasiswi Universitas Singaperbangsa Karawang. Amien ya Rabbal
‘alamin.
Karawang, April 2012
Penulis
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
4
B.
Rumusan Masalah
4
C.
Tujuan
4
BAB II PEMBAHASAN
A.
Riwayat hidup Al-Ghazali
5
B.
Karya-karya Imam
Al-Ghazali
7
C.
Filsafat Imam Al-Ghazali
8
D.
Pengaruh pemikiran-pemikiran
Imam Al-Ghazali terhadap masa dan generasi sesudahnya
12
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
14
B.
Daftar
Pustaka.
16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyusunan
Bertambah masa, bertambah berkembanglah pemikiran manusia. Begitu pula
dengan perkembangan filsafat Islam. Pada abad ke-5, filsafat Islam mengalami
perkembangan yang dapat dikatakan merubah pola filsafat Islam yang banyak dipertentangkan.
Ini dibuktikan dengan pemikiran-pemikiran Imam Al Ghazali sebagai pionir
filsafatnya yang dominan relevan dengan konsep Islam.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka kami menyusun makalah yang
berjudul Filsafat Al Ghazali sebagai kontribusi kecil kami dalam menambah
khazanah keilmuan. Selain itu, ini juga sebagai bentuk tanggung jawab kami
dalam memenuhi tugas terstruktur pada mata kuliah Filsafat Islam.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang kami angkat dalam makalah ini sebagai
berikut:
1. Bagaimana Riwayat Hidup Al Ghazali?
- Apa Saja Karya-karya yang pernah Ditorehkan oleh
Al Ghazali?
- Bagaimanakah Filsafat Al Ghazali?
- Apakah Pemikiran-pemikiran Al Ghazali Berpengaruh
terhadap Masa dan Generasi Sesudahnya? Jika ya, seperti Apakah
Pengaruhnya?
C. Tujuan Pembahasan Masalah
Adapun tujuan dari pembahasan masalah di atas adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui Riwayat Hidup Al Ghazali.
- Mengetahui Karya-karya yang pernah Ditorehkan
oleh Al Ghazali.
- Mengetahui Pemikiran-pemikiran Al Ghazali.
- Mengetahui Pengaruh Pemikiran-pemikiran Al
Ghazali terhadap Masa dan Generasi Sesudahnya.
BAB II
PEMBAHASAN
GHAZALI
(1058-1111 M)
A. Riwayat Hidup Al Ghazali
Nama
lengkapnya Abu Hamid Ibn Muhammad Ibn Ahmad Al Ghazali, lebih dikenal dengan Al
Ghazali. Dia lahir di kota kecil yang terletak di dekat Thus, Provinsi
Khurasan, Republik Islam Irak pada tahun 450 H (1058 M).
Nama Al
Ghazali ini berasal dari ghazzal, yang berarti tukang pintal benang, karena
pekerjaan ayahnya adalah memintal benang wol. Sedangkan Ghazali juga diambil
dari kata ghazalah, yaitu nama kampung kelahiran Al Ghazali dan inilah yang
banyak dipakai, sehingga namanya pun dinisbatkan oleh orang-orang kepada
pekerjaan ayahnya atau kepada tempat lahirnya.
Orang tuanya
gemar mempelajari ilmu tasawuf, karena orang tuanya hanya mau makan dari hasil
usaha tangannya sendiri dari menenun wol. Ia juga terkenal pecinta ilmu dan
selalu berdo’a agar anaknya kelak menjadi seorang ulama. Amat disayangkan
ajalnya tidak memberikan kesempatan padanya untuk menyaksikan keberhasilan
anaknya sesuai do’anya.Awal mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah ketika
sebelum ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua versi:
- Ayahnya sempat menitipkan Al Ghazali kepada
saudaranya yang bernama Ahmad. Ia adalah seorang sufi, dengan bertujuan
untuk dididik dan dibimbingnya dengan baik.
- Ayahnya
menitipkan Al Ghazali bersama saudaranya Ahmad kepada seorang sufi, untuk
didik dan dibimbing dengan baik.
Sejak kecil, Al Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu.
Karenanya, tidak heran sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar dengan sejumlah
guru di kota kelahirannya. Diantara guru-gurunya pada waktu itu adalah Ahmad
Ibn Muhammad Al Radzikani. Kemudian pada masa mudanya ia belajar di Nisyapur
juga di Khurasan, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu
pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid Imam Al
Haramaîn Al Juwaini yang merupakan guru besar di Madrasah An Nizhâmiyah
Nisyapur. Al Ghazali belajar teologi, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme
dan ilmu-ilmu alam.
Berdasarkan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, Al Juwaini kemudian
memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Al Ghazali kemudian
meninggalkan Naisabur setelah Imam Al Juwaini meninggal dunia pada tahun 478 H
(1085 M). Kemudian ia berkunjung kepada Nizhâm Al Mâlik di kota Mu’askar. Ia
mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota
itu selama 6 tahun. Pada tahun 1090 M ia diangkat menjadi guru di sebuah
Nizhâmiyah, Baghdad. Pekerjaan itu dilakukan dengan sangat berhasil. Selama di
Baghdad, selain mengajar, ia juga memberikan bantahan-bantahan terhadap
pikiran-pikiran golongan bathiniyyah, ismâiliyyah, golongan filsafat dan
lain-lain. Setelah mengajar di berbagai tempat, seperti di Baghdad, Syam dan
Naisabur, akhirnya ia kembali ke kota kelahirannya di Thus pada tahun 1105 M.
Empat tahun lamanya Al Ghazali memangku jabatan tersebut, bergelimang ilmu
pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia banyak menulis buku-buku
ilmiah dan filsafat. Tetapi keadaan yang demikian tidak selamanya mententramkan
hatinya. Di dalam hatinya mulai timbul keraguan, pertanyaan-pertanyaan batinnya
mulai muncul, ‘inikah ilmu pengetahuan yang sebenarnya?’, ‘Inikah kehidupan
yang dikasihi Allah?’, ‘Inikah cara hidup yang diridhai Tuhan?’, dengan mereguk
madu dunia sampai ke dasar gelasnya. Bermacam-macam pertanyaan timbul dari hati
sanubarinya. Keraguan terhadap daya serap indera dan olahan akal benar-benar
menyelimuti dirinya. Akhirnya dia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di
Baghdad menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan tinggal disana sambil
mengisolir diri untuk beribadah.
Ia mulai tentram dengan jalannya di Damaskus, yakni jalan sufi. Ia tidak
lagi mengandalkan akal semata-mata, tetapi juga kekuatan nûr yang dilimpahkan
Tuhan kepada para hamba-Nya yang bersungguh-sumgguh menuntut kebenaran. Dari
Damaskus ia kembali ke Baghdad dan kembali ke kampungnya di Thus. Di sini ia
menghabiskan hari-harinya dengan mengajar dan beribadah sampai ia dipanggil
Tuhan ke hadirat-Nya pada tanggal 14 Jumâdil Akhir tahun 505 H (1111 M) dalam
usia 55 tahun dengan meninggalkan beberapa anak perempuan. Dan ada juga yang
mengatakan bahwa beliau meninggal usia 54 tahun.
B. Karya-karya
Imam Al Ghazali
Rampung dari mempelajari beberapa filsafat, baik Yunani maupun dari
pendapat-pendapat filosof Islam, Al Ghazali mendapatkan argumen-argumen yang
tidak kuat, bahkan banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam. Oleh karena
itu, Al Ghazali menyerang argumen filosof Yunani dan Islam dalam beberapa
persoalan. Di antaranya, Al Ghazali menyerang dalil Aristoteles tentang
azalinya alam dan pendapat para filosof yang mengatakan bahwa Tuhan tidak
mengetahui perincian alam dan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja. Ia
pun menentang argumen para filosof yang mengatakan kepastian hukum sebab akibat
semata-mata, mustahil adanya penyelewengan.
Al Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas pembelaannya yang
mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum bâthiniyyah dan kaum
filosof. Sosok Al Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa. Dia seorang
ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang produktif.
Karya-karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Berikut
beberapa warisan dari karya ilmiah yang paling besar pengaruhnya terhadap
pemikiran umat Islam:
- Maqâshid Al
Falâsifah (tujuan-tujuan para filosof), karangan pertama yang berisi
masalah-masalah filsafat.
- Tahâfut Al
Falâsifah (kekacauan pikiran para filosof) yang dikarang ketika jiwanya
dilanda keragu-raguan di Baghdad dan Al Ghazali mengecam filsafat para
filosof dengan keras.
- Mi’yâr Al ‘Ilm
(kriteria ilmu-ilmu).
- Ihyâ` ‘Ulûm Ad
Dîn (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), merupakan karya terbesarnya
selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara
damaskus,Yerussalem, Hijjâz dan Thus yang berisi panduan antara fiqih,
tasawuf dan filsafat.
- Al Munqidz Min
Adl Dlalâl (penyelamat dari kesatuan), merupakan sejarah perkembangan alam
pikiran Al Ghazali dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu
serta jalan mencapai Tuhan.
- Al Ma’ârif Al
‘Aqliyyah (pengetahuan yang rasional).
- Misykat Al Anwâr
(lampu yang bersinar banyak), pembahasan akhlâq tashawuf.
- Minhaj Al ‘Âbidîn
(jalan mengabdikan diri pada Tuhan).
- Al Iqtishâd
fî Al I’tiqâd (moderasi dalam akidah).
- Ayyuhâ Al Walad
(wahai anak).
- Al Mustasyfa
(yang terpilih).
- Iljam Al ‘Awwâm
‘an ‘Ilm Al Kalâm.
- Mizan Al ‘Amal
(timbangan amal).
C. Filsafat Imam Al Ghazali
1. Filsafat Ketuhanan Al Ghazali
Al Ghazali memandang metafisika (ketuhanan) dengan
memberi reaksi keras terhadap Neoplatonisme Islam. Menurutnya, banyak kesalahan
para filosof, karena mereka tidak teliti dalam lapangan logika dan matematika.
Untuk itu, Al Ghazali mengecam secara langsung dua tokoh Neoplatonisme muslim
(Al Farabi dan Ibn Sina) serta secara tidak langsung terhadap Aristoteles, guru
mereka. Menurut Al Ghazali, dalam Tahâfut Al Falâsifah, para pemikir bebas
tersebut ingin meninggalkan keyakinan-keyakinan Islam dan mengabaikan
dasar-dasar pemujaan ritual dengan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak
berguna bagi pencapaian intelektual mereka.
Pandangan Al Ghazali tentang filsafat ketuhanan
terdiri dari tiga masalah pokok, yaitu:
a. Masalah Wujud
a. Masalah Wujud
Al Ghazali mengikuti tradisi ulama kalam Al Asy’ari,
dalam menetapkan wujud Tuhan. Beliau menggunakan dalil wujud Tuhan atas dua
bentuk, yaitu dalil naqli dan dalil aqli. Penggunaan dalil naqli yakni melalui
perenungan terhadap ayat-ayat Al Qur`ân sambil memperhatikan alam semesta
sebagai ciptaan Tuhan bahwa dengan perenungan ayat dan fenomena alam yang serba
teratur, manusia akan sampai pada pengakuan terhadap wujud Tuhan.
Ia menunjukkan wujud Tuhan melalui dalil aqli dan ia
mempertentangkan wujud Allah dengan wujud makhluk. Wujud Allah adalah qadîm,
sedangkan wujud makhluk adalah hadîts (baru). Wujud hadîts menghendaki sebab
gerak yang mendahuluinya sebagai penggerak yang mengadakannya. Sebab musabab
ini tidak akan berakhir sebelum sampai kepada Yang Qadîm yang tidak dicipta dan
digerakkan. Sedangkan jika wujud Allah hadîts, tentu akan menghendaki sebab
musabab seperti itu juga, yang sudah pasti tak akan ada pangkal pokok geraknya.
Hal demikian adalah suatu hal yang mustahil dan tak akan menghasilkan apa-apa.
b. Masalah Dzat dan Sifat
Al Ghazali membatasi diri dari pembahasan tentang Dzat
Tuhan dengan mengemukakan hadits Nabi Muhammad saw. yang melarang manusia
memikirkan dzat Allah SWT. Dari itu, beliau menegaskan bahwa akal menusia tidak
akan sampai mencapai dzat itu. Cukup bagi manusia hanya mengetahui sifat
af’âlnya saja. Sedangkan dalam membahas sifat Tuhan, Al Ghazali cenderung
mengikuti para mutakallimîn dari madzhab Asy’ari. Beliau menetapkan adanya
sifat dzat yang diistilahkan dengan sifat salbiyyah (sifat yang menafikan
sesuatu yang tidak sesuai dengan kesempurnaan dzat Allah SWT). Sifat salbiyyah
ini ada lima, yaitu: Qidâm (tidak berpemulaan), Baqâ` (kekal), Mukhâlafah li Al
Hawâdits (berlainan dengan yang baru), Qiyâmuh Bi Nafsih (berdiri sendiri) dan
Wahdâniyyah (esa).
Sifat-sifat ini menafikan kesempurnaan makhluk dan
menetapkan kesempurnaan Allah SWT. Selain sifat salbiyyah, adapula sifat ma’âni
(sifat-sifat yang melekat pada dzat Allah SWT.) Dia bukanlah dzatnya dan adanya
sifat ini bersamaan dengan adanya Allah SWT. dan tidak dapat dipisahkan dari
dzatnya. Sifat ma’âni ada tujuh yaitu: Qudrah (Maha Kuasa), Iradah (Maha
Berkehendak), ‘Ilmu (Maha Mengetahui), Sama’ (Maha Mendengar), Bashar (Maha
Melihat), Kalam (Maha Berbicara) dan Hayat (Maha Hidup).
c. Masalah Af’al
Al Ghazali berpendapat bahwa perbuatan Allah SWT.
tidak terbatas dalam menciptakan alam saja, tetapi Allah SWT. juga menciptakan
perbuatan manusia dan ikhtiarnya. Perbuatan manusia tidaklah terlepas dari
kehendak Allah SWT. Manusia hanya diberi kekuasaan dalam lingkungan kehendak
Tuhan. Jadi pebuatan dan ikhtiar manusia adalah terbatas dan tidak akan
melampaui garis-garis qadar. Dalam menguraikan af’al ini, Al Ghazali
mengembalikan permasalahan kepada firman Allah SWT dalam Q.S. Fâthir ayat 8.
2. Tashawuf Al Ghazali
Al Ghazali dengan sifat kritisnya kadang tidak percaya
pada kebenaran semua (oxioma atau sangat mendasar) yang akhirnya melahirkan
skeptik.[7] Dia pernah mengutarakan pendapatnya terkait cahaya, sebagai
berikut:
“Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan,
dan siap yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada
argumen-argumen, sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas…
Cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan dalam hati sanubari
seseorang.”
Berdasarkan ungkapan dia tersebut, dapat disimpulkan
bahwa satu-satunya pengetahuan yang menimbulkan keyakinan akan kebenarannya
bagi Al Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan
dengan Tashawuf. Ungkapan ini ada setelah dia tidak merasa puas dengan
ilmu kalam dan filsafat serta meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah
Nizhamiyah, Baghdad tahun 1095 M dan pergi bertapa di salah satu menara Mesjid
Umawi di Damaskus.
Tashawuf Al Ghazali berbeda dengan tashawuf yang
berkembang saat itu. Ia tidak melibatkan diri dalam aliran tashawuf inkarnasi
(pantheisme) dan karya-karyanya tidak keluar dari sunnah Islam yang benar. Pengetahuannya
tidak berdasarkan hasil-hasil argumen Ilmu Kalam. Sehingga dari saat tersebut,
tashawuf mulai digandrungi masyarakat lagi.
3. Filsafat Etika/ Akhlâq Al Ghazali
Tujuan dari butir-butir nilai akhlâq yang
dikemukakannya adalah sebagai sarana mencapai ma’rifatullah (mengenal Allah
SWT) dengan arti membuka hijab-hijab yang membatasi diri manusia dengan
Tuhannya, karena menurutnya, akhlâq sangat terkait erat dengan filsafat
ketuhanannya.
Menurut Al Ghazali, akhlâq adalah sifat yang tertanam
dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduk dengan mudah
dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Dalam hal ini,
terdapat persamaan antara Imam Al Ghazali, Ibn Maskawaih dan Tusi, bahwa akhlâq
harus dimulai dengan pengetahuan tentang jiwa, kekuatan dan sifat-sifatnya.
Karena ia merupakan sumber kebaikan, kebahagiaan dan sebaliknya.
Berbicara masalah jiwa, sebagaimana Tusi dan filosof
lainnya, Al Ghazali membagi jiwa menjadi tiga bagian, yaitu: jiwa bernafsu (an
nafs al bahîmiyyah) yang berasal dari materi, jiwa berani (an nafs as
sabû’iyyah) dan jiwa berfikir (an nafs an nâthiqah) yang berasal dari ruh Tuhan
yang tidak akan hancur. Al Ghazali juga membuat tabulasi kebaikan pokok, yang
terdiri dari empat hal, yaitu kebijaksanaan, keberanian, menjaga kesucian dan
keadilan. Empat hal ini merupakan jalan tengah dari ketiga jenis jiwa tadi. Dan
untuk mencapai jalan tengah ini, diperlukan akal yang berfungsi efektif bagi
terciptanya posisi tengah jiwa berpikir dan syari’at berfungsi efektif untuk
terciptanya posisi tengah jiwa bernafsu dan berani.
Al Ghazali mengenalkan konsep jalan lurus (ash shirât
al mustaqîm) yang dinyatakan lebih halus daripada sehelai rambut dan lebih
tajam daripada mata pisau. Kesempurnaan jalan ini akan dapat dicapai dengan
penggabungan antara akal dan wahyu.
Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn merupakan salahsatu karya Al
Ghazali yang mengupas tentang pemikiran filsafat etikanya. Maka, dapat dikatakan
bahwa filsafat etika Al Ghazali adalah Tashawuf Al Ghazal, yang bertujuan
pokok:
التخلّق بالأخلاق الله على طاقة البشرية atau الصفات الرحمن على طاقة البشطي
Maksudnya
bahwa manusia semampunya meniru keteladanan sifat-sifat ketuhanan, seperti
pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), serta sifat-sifat yang disukai Tuhan,
seperti sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas, beragama dan lainnya.
Akhlâq merupakan
keseimbangan antara daya ilmu dan daya pengendalian amarah. Dan jalan untuk
mencapai akhlâq ialah dengan naluri insani serta latihan-latihan. Latihan ini
dilakukan dengan amal-amal. Adapun tujuan dari akhlâq luhur adalah menahan diri
dari mencintai dunia wujud dan mengalihkannya kepada nikmatnya mencintai Allah
SWT.
Al Ghazali
berpendapat bahwa watak manusia pada dasarnya adalah seimbang, dan lingkungan
dan pendidikanlah yang memperburuknya. Sebagaimana prinsip Islam, Al Ghazali
menganggap Tuhan sebagai pencipta yang berkuasa dan sangat memelihara dan
menjadi rahmatan lil ‘âlamîn. Untuk taqarrub pada Allah, yang terpenting adalah
muqârabah dan muhâsabah. Adapun kesenangan menurut Al Ghazali ada dua, yaitu
kepuasan (ladzdzât) ketika mengetahui kebenaran sesuatu dan kebahagiaan
(sa’âdah) ketika mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu sendiri
(ma’rifatullâh disertai musyâhadah al qalb).
D. Pengaruh Pemikiran-pemikiran Imam Al Ghazali terhadap Masa dan Generasi Sesudahnya
Pemikiran Al Ghazali banyak mempengaruhi pada masa
setelahnya, karena sesuai dengan ajaran Islam. Ia mendapat gelar Hujjatul Islâm
karena jasanya dalam mengomentari dan melakukan pembelaan terhadap berbagai
serangan dari pihak luar, baik Islam maupun orientalis Barat.
Pemikiran Al Ghazali dan Ibn Rusyd pada dasarnya
memiliki satu garis kesamaan, yaitu sebuah garis yang berangkat dari titik
pemikiran Ibn Sina dengan aliran filsafat yang memiliki bangun dasar wahdatul
wujûd. Al Ghazali mengemukakan bahwa para filosof yang mengajarkan tiga hal
(keabadian alam, pengetahuan Tuhan yang universal dan menolak bangkitnya jasad setelah
mati) adalah kafir, termasuk yang mengikutinya.
Beberapa filosof yang terpengaruhi pemikiran-pemikiran
Al Ghazali dari karya-karyanya, yaitu:
- B Mic Donal menerjemahkan beberapa pasal dari
Ihyâ` ‘Ulûmuddîn.
- H Baeur yang menterjemahkan Qawâ’id Al ‘Aqâ`id
ditransfer ke dalam bahasanya, yaitu Dogmatic Al Ghazali’s.
- Carra De Vaux yang menterjemahkan buku Tahâfut Al
Falâsifah.
- De Boer dan Asin Palacois yang masing-masing
menterjemahkan Tahâfut Al Falâsifah.
- Barbier De Minard yang menterjemahkan Al Munqizhu
min Adl Dlalâl.
- WHT. Craidner, London yang menterjemahkan buku
Miskat Al Anwâr.
BAB III
KESIMPULAN
Nama lengkap Al Ghazali adalah Abu Hamid Ibn Muhammad
Ibn Ahmad Al Ghazali, lebih dikenal dengan Al Ghazali. Lahir di Provinsi Khurasan,
Republik Islam Irak, tahun 450 H (1058 M). Ayahnya adalah memintal benang wol.
Awal mula Al Ghazali mengenal tashawuf adalah ketika
sebelum ayahnya meninggal, namun dalam hal ini ada dua versi: ayahnya sempat
menitipkan Al Ghazali kepada saudaranya, Ahmad seorang sufi. Sejak kecil, Al
Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu. Al Juwaini kemudian
memberinya gelar Bahrûm Mughrîq (laut yang menenggelamkan). Dan empat tahun Al
Ghazali bergelimang ilmu pengetahuan dan kemewahan duniawi. Di masa inilah dia
banyak menulis buku-buku ilmiah dan filsafat. Bermacam-macam pertanyaan timbul
dari hati sanubarinya. Dia menyingkir dari kursi kebesaran ilmiahnya di Baghdad
menuju Mekkah, kemudian ke Damaskus dan tinggal disana sambil mengisolir diri untuk
beribadah dan mengambil jalan sufi. Ia wafat pada tanggal 14 Jumâdil Akhir
tahun 505 H (1111 M) dalam usia 55 tahun.
Al Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm
atas pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum
bâthiniyyah dan kaum filosof. Dia seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam
ilmunya dan pengarang produktif.
Karya-karya tulisnya meliputi: Maqâshid Al Falâsifah,
Tahâfut Al Falâsifah, Mi’yâr Al ‘Ilm, Ihyâ` ‘Ulûm Ad Dîn, Al Munqidz Min Adl
Dlalâl, Al Ma’ârif Al ‘Aqliyyah, Misykat Al Anwâr, Minhaj Al ‘Âbidîn, Al
Iqtishâd fî Al I’tiqâd, Ayyuhâ Al Walad, Al Mustasyfa, Iljam Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm
Al Kalâm dan Mizan Al ‘Amal.
Filsafat Imam Al Ghazali meliputi Filsafat Ketuhanan
(Masalah Wujud, Dzat dan Sifat serta Af’al); Tashawuf Al Ghazali, tidak
melibatkan diri dalam aliran tashawuf inkarnasi (pantheisme) dan karya-karyanya
tidak keluar dari sunnah Islam yang benar. Pengetahuannya tidak berdasarkan
hasil-hasil argumen Ilmu Kalam; Filsafat Etika/ Akhlâq Al Ghazali. Akhlâq
adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dan
tindak-tanduk dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.
Al Ghazali membagi
jiwa menjadi tiga bagian, yaitu: an nafs al bahîmiyyah an nafs as sabû’iyyah
dan an nafs an nâthiqah. Ia pun mengenalkan konsep jalan lurus (ash shirât al
mustaqîm) yang dinyatakan lebih halus daripada sehelai rambut dan lebih tajam
daripada mata pisau. Filsafat etika Al Ghazali adalah Tashawuf Al Ghazal, yang
bertujuan pokok:التخلّق بالأخلاق الله على طاقة البشرية. Akhlâq merupakan keseimbangan antara daya ilmu dan daya pengendalian
amarah. Dan jalan untuk mencapai akhlâq ialah dengan naluri insani serta
latihan-latihan. Al Ghazali berpendapat bahwa watak manusia pada dasarnya
adalah seimbang, dan lingkungan dan pendidikanlah yang memperburuknya.
Al Ghazali
menganggap Tuhan sebagai pencipta yang berkuasa dan sangat memelihara dan
menjadi rahmatan lil ‘âlamîn. Adapun kesenangan menurut Al Ghazali ada dua,
yaitu kepuasan dan kebahagiaan. Pemikiran Al Ghazali banyak mempengaruhi pada
masa setelahnya. Beberapa filosof yang terpengaruhi pemikiran-pemikiran Al
Ghazali dari karya-karyanya, yaitu: B Mic Donal, H Baeur, Carra De Vaux, De
Boer dan Asin Palacois, Barbier De Minard dan WHT. Craidner.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali, Yunasril. 1991. Perkembangan Pemikiran Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Hanafi, Ahmad. 1990. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Hermawan, A. Heris dan Yaya Sunarya. 2011. Filsafat. Bandung: CV Insan Mandiri.
Madkur, Ibrahim. 1968. Fî Al Falsafah Al Islâmiyyât wan Manhaj wa Tathbiquh. Kairo: Dâr Al Ma’ârif.
Mustofa, A. 2007. Filsafat Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Nasution, Harun. 1978. Filsafat dan Mistisme. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Hasyim Syah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Suseno, Magniz Franz. 2000. Dua Belas Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius.
Syadali, Ahmad Mudzakir, dkk. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Komentar