Langsung ke konten utama

Ushul Fiqh 1 (Ijma, Qiyas, Illat, Istishan)


BAB I
PENDAHULUAN

a.      Latar Belakang
Al-Qur’an dan Hadist merupakan sumber hukum umat Islam. Al-Qur’an adalah salah satu mukjizat yang diberikan Allah SWT  kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril. Dan Hadits (as-Sunnah) merupakan sabda, perbuatan, taqrir atau persetujuan yang berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi, umat Islam masih mempunyai sumber hukum yang lainnya, selain al-Qur’an dan Hadist diantaranya, ijma’, qiyas, dan lain sebagainya.
Ijma’ merupakan kesepakatan semua Mujtahid diantara umat Islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW atas hukum syar’i mengenai suatu kejadian. Sedangkan yang dimaksud dengan Qiyas yaitu menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu.
Ijma’ merupakan sumber hukum (dalil) ketiga bagi umat Islam, dan Qiyas merupakan sumber hukum (dalil) keempat umat Islam. Berdasarkan penjelasan di atas, berikut ini penulis akan memaparkan lebih jelas lagi tentang sumber hukum (dalil) umat Islam selain al-Qur’an dan Hadist.

b.      Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud Ijma?
2.      Apa yang dimaksud Qiyas?
3.      Apa yang dimaksud Illat?
4.      Apa yang dimaksud Istihsan?
BAB II
PEMBAHASAN

1.      IJMA’
a.      Pengertian Ijma’
Ø  Menurut Bahasa
Definisi Ijma’ menurut bahasa terbagi dalam dua arti:
1). Bermaksud atau berniat, sebagaimana firmanAllah dalam Q. S. Yunus: 71;
 ã@ø?$#ur öNÍköŽn=tã r't6tR ?yqçR øŒÎ) tA$s% ¾ÏmÏBöqs)Ï9 ÉQöqs)»tƒ bÎ) tb%x. uŽã9x. /ä3øn=tæ ÍG$s)¨B ÎŽÏ.õs?ur ÏM»tƒ$t«Î/ «!$# n?yèsù «!$# àMù=ž2uqs? (#þqãèÏHødr'sù öNä.{øBr& öNä.uä!%x.uŽà°ur ¢OèO Ÿw ô`ä3tƒ öNä.áøBr& ö/ä3øn=tæ Zp£Jäî ¢OèO (#þqàÒø%$# ¥n<Î) Ÿwur ÈbrãÏàZè? ÇÐÊÈ  
Artinya: ” Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu Dia berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, Maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku.”
Maksudnya, semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temannya harus mengikuti jalan yang beliau tempuh. Dan hadist Rasulullah SAW yang artinya: “Barang siapa yang belum berniat untuk berpuasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.”
2). Kesepakatan terhadap sesuatu, sebagimana firman Allah dalam Q. S. Yusuf: 15, yang menerangkan keadaan saudara-saudara Yusuf a. s.;
$£Jn=sù (#qç7ydsŒ ¾ÏmÎ/ (#þqãèuHødr&ur br& çnqè=yèøgs Îû ÏMt6»uŠxî Éb=ègø:$# 4 !$uZøŠym÷rr&ur ÏmøŠs9Î) Oßg¨Zt¤Îm6t^çFs9 öNÏd̍øBr'Î/ #x»yd öNèdur Ÿw tbráãèô±o ÇÊÎÈ  
Artinya: “Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: "Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi."
Adapun perbedaan antara kedua arti di atas adalah: yang pertama bisa dilakukan satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya.
Ø  Menurut Istilah
Para ulama ushul berpendapat bahwa ijma’ menurut istilah ialah kesepakatan semua Mujtahid di antara umat Islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW atas hukum syar’i mengenai suatu kejadian atau kasus.
b.      Syarat-syarat Ijma’
Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini:
Ø  Yang bersepakat adalah para Mujtahid
Ø  Yang bersepakat adalah seluruh Mujtahid
Ø  Para Mujtahid harus umat Nabi Muhammad SAW
Ø  Dilakukan setelah wafatnya Nabi
Ø  Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan hukum syariat
Ø  Adanya kesepakatan para Mujtahid dengan menampilkan pendapat masing-masing Mujtahid secara jelas mengenai suatu kejadian.

c.       Macam-macam Ijma’
Ijma’ bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu:
Ø  Ijma’ Sharih/Shorikh (The Real Ijma’) yaitu kesepakatan para mujtahid suatu masa atas hukum suatu peristiwa dengan menampilkan pendapat masing-masing secara jelas dengan sistem fatwa/qodho (memberi keputusan). Maksudnya setiap Mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya.
Ø  Ijma’ Sukuti (The Silent Ijma’) yaitu sebagian para Mujtahid suatu masa menampilkan pendapatnya secara jelas mengenai suatu peristiwa dengan sitem fatwa atau qodho, sedang sebagian Mujtahid lain tidak memberikan tanggapan terhadap pendapat tersebut mengenai kecocokan atau perbedaannya.

d.      Kehujjahan Ijma’
Bukti atas kehujahan Ijma’ adalah hal-hal sebagai berikut:
Ø  Dalam al-Qur’an Allah SWT telah memerintahkan taat kepada Ulil Amri di antara umat Islam sebagaimana perintah kepada mukminin mentaati Allh SWT dengan Rasulnya, seperti firman Allah SWT:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya),  jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Ø  Bahwasannya suatu hukum yang telah di sepakati oleh pendapat semua Mujtahid umat Islam, pada hakikatnya adalah hukum umat Islam yang diperankan oleh para Mujtahidnya. Sebagaimana sabda Nabi SAW: “Apa yang di lihat oleh umat Islam sebagai baik, maka menurut Allah SWT itu juga baik.”
Ø  Bahwasannya Ijma’ atas hukum syar’i itu harus disandarkan kepada tempat bersandar syar’i, karena Mujtahid Islam itu mempunyai batas-batas yang tidak boleh dilampaui olehnya.

e.       Kemungkinan adanya Ijma’
Para ulam berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma’ dan kewajiban melaksanakannya. Jumhur berkata, “Ijma’ itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana”. Sedangkan pengikut Nizam dan Syiah menyatakan,”Ijma’ itu tidak mungkin terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antar lain:
Ø  Sesungguhnya Ijma’ yang dimaksudkan oleh jumhur tentang diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus memenuhi dua kriteria berikut: pertama, mengetahui karakter setiap Mujtahid yang dikategorikan mampu untuk mengadakan Ijma’. Kedua, mengetahui pendapat masing-masing Mujtahid tentang permasalahan tersebut.
Ø  Ijma’ itu harus bersandarkan pada dalil, baik yang qath’i ataupun yang zhanni. Bila berlandaskan pada dalil yang qath’i, maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu tidak membutuhkan ijma’. Sebaliknya bila disandarkan pada dalil yang zhanni, dapat dipastikan para ulam akan berbeda pendapat karena masing-masing Mujtahid akan mengeluarkan pendapatnya dengan kemampuan berpikir dan daya nalar mereka, disertai berbagai dalil yang menguatkan pendapat mereka.

2.      QIYAS
a.      Pengertian Qiyas
Ø  Menurut Bahasa
Qiyas menurut bahasa adalah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya.
Ø  Menurut Istilah
Qiyas menurut Ulama Ushul ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.

b.      Rukun Qiyas
Dari pengertian qiyas yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas terdiri atas empat unsur berikut ini:
Ø  Ashl (pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat meng-qiyas-kan. Ini berdasarkan pengertian ashl menurut fuquha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog adalah suatu nash syara’ yang menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain suatu nash yang menjadi dasar hukum.
Ø  Far’u (cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya.
Ø  Hukum ashl, yaitu hukum syara’, yang ditetapkan oleh suatu nash.
Ø  Illat yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl. Dengan adanya sifat itulah, ashl mempunyai suatu hukum. Dan dengan sifat itu pula, terdapat cabang, sehingga hukum cabang itu disamakanlah dengan hukum ashl.

c.       Kehujjahan Qiyas
Menurut para Jumhur Ulama Islam, bahwa qiyas adalah juga hujjah syar’iyah atas hukum-hukum mengenai perbuatan manusia (amaliah), dan ia menduduki martabat yang keempat diantara hujjah-hujjah syar’iyah dengan pengertian, apabila tidak didapati dalam suatu kejadian itu, hukum menurut nash atau ijma’akan tetapi terdapat kesamaan illat dengan suatu kejadian yang telah terdapat hukumnya dalam nash, maka diqiyaskanlah kejadian yang pertama itu kepada kejadian yang kedua, jadi diberi hukum menurut hukumnya, dan hukum ini adalah ketetapan menurut syara.

3.      ILLAT
a.      Pengertian Illat
Illat adalah sifat dalam hukum Ashal yang dijadikan dasar hukum. Dan dengan itu diketahui hukum tersebut dalam cabang, seperti “memabukkan”, adalah sifat yang terdapat pada khomer yang dijadikan dasar keharamannya. Dan dengan itu diketahui wujudnya keharaman dalam setiap arak yang memabukkan. Diantara yang telah disepakati Jumhur Ulama Islam, yaitu bahwasannya Allah SWT tidak membentuk hukum kecuali untuk kemaslahatan hamba-Nya, dan sesungguhnya kemaslahatan itu adakalanya menarik keuntungan bagi mereka dan adakalanya menolak bahaya dari mereka. Maka yang mendorong pembentukan hukum syara’ apa saja, ialah menarik manfaat bagi manusia, atau menolak bahaya daripadanya.

b.      Syarat-syarat Illat
Syarat-syarat Illat yang telah disepakati ada empat, yaitu:
Ø  Hendaknya ia merupakan sifat yang nyata, yakni bersifat material yang bisa dijangkau oleh panca indra yang lahir. Karena illat adalah yang membatasi hukum pada cabang, maka oleh karena itu harus terdiri dari hal yang nyata, dan hal yang bisa terjangkau oleh rasa pada ashal dan bisa terjangkau wujudnya pada cabang.
Ø  Hendaknya ia merupakan sifat yang pasti, yakni tertentu dan terbatas, dapat dibuktikan wujudnya pada cabang dengan membatasi, atau karena terdapat sedikit pebedaan. Karena asas Qiyas adalah bersamaan cabang dan ashal pada illat hukum ashal.
Ø  Hendaknya merupakan sifat yang sesuai, yakni terdiri dari tempat dugaan mewujudkan hikmah hukum, artinya bahwa hubungan hukum dengan sifat itu dalam ada dan tidaknya harus diwujudkan apa yang menjadi tujuan pembuat hukum dalam membentuk hukum dari segi menarik keuntungan atau menghindari bahaya.
Ø  Hendaknya tidak merupakan sifat yang terbatas pada ashal, artinya harus sifat yang dapat diwujudkan pada beberapa individu dan bisa didapati pada selain ashal.

c.       Pembagian Illat
Dari segi bahwa syar’i telah menganggap sifat sesuai atau tidak, maka ulama telah membagi sifat yang sesuai itu pada empat bagian, yaitu:
Ø  Al-Munasib al-Mu’tsir, yaitu sifat yang sesuai yang oleh syar’i telah disusun hukum yang sesuai dengan sifat itu, baik dalam nash maupun ijma’. Sifat tersebut telah ditetapkan sebagai illat hukum. Seperti dalam firman Allah SWT:
štRqè=t«ó¡our Ç`tã ÇÙŠÅsyJø9$# ( ö@è% uqèd ]Œr& (#qä9ÍtIôã$$sù uä!$|¡ÏiY9$# Îû ÇÙŠÅsyJø9$# ( Ÿwur £`èdqç/tø)s? 4Ó®Lym tbößgôÜtƒ ( #sŒÎ*sù tbö£gsÜs?  Æèdqè?ù'sù ô`ÏB ß]øym ãNä.ttBr& ª!$# 4 ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÎ/º§q­G9$# =Ïtäur šúï̍ÎdgsÜtFßJø9$# ÇËËËÈ  
Artinya: “ Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Ø  Al-Munasib al-Mulaa’im, yaitu sifat yang sesuai yang oleh syar’i telah disusun hukum yang sesuai dengan sifat itu.
Ø  Al-Munasib al-Mursal, yaitu sifat yang oleh syar’i tidak disusun hukum yang sesuai dengannya.
Ø  Al-Munasib al-Mulgha, yaitu sifat yang nyata bahwa pendasaran hukum kepadanya adalah mewujudkan kemaslahatan. Sedang syar’i tidak menyusun hukum yang sesuai dengan sifat itu.


4.      ISTIHSAN
a.      Pengertian Istihsan
Ø  Menurut Bahasa
Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu. Yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan.
Ø  Menurut Istilah
Istihsan menurut istilah Ulama Ushul ialah berpindahnya seorang Mujtahid dari tuntunan Qiyas Jali (Qiyas nyata) kepada Qiyas Khafi (Qiyas samar). Atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya, dan dimenangkan baginya perpindahan ini.

b.      Macam-macam Istihsan
Dari definisi istihsan menurut syara’ maka jadi jelas bahwa al-Istihsan itu ada dua macam:
Ø  Memenangkan Qiyas Khafi atas Qiyas Jali dengan dalil
Ø  Mengecualikan Juz’iyah dari hukum Kulli dengan dalil.

c.       Kehujjahan Al-Istihsan
Dari definisi Istihsan dan penjelasan dua macamnya, maka jadi jelaslah bahwa istihsan itu pada hakikatnya bukan sumber pembentukan hukum yang tersendiri. Karena hukum-hukum macam pertama dari dua dalil tersebut dalilnya adalah Qiyas Khafi yang menang atas Qiyas Jali lantaran faktor-faktor yang memenangkan, yang dengan itu menjadi tentram hati seorang Mujtahid, yaitu jalan Istihsan. Sedangkan hukum-hukum macam kedua, diantara macam dalilnya adalah al-mashlahah, yang menuntut adanya pengecualian bagian hukum kulli, yaitu yang diungkapkan sebagai jalan istihsan.


BAB III
KESIMPULAN

1.      IJMA’
a.      Pengertian Ijma’
Ø  Menurut Bahasa
Definisi Ijma’ menurut bahasa terbagi dalam dua arti:
1). Bermaksud atau berniat
2). Kesepakatan terhadap sesuatu
Ø  Menurut Istilah
Para ulama ushul berpendapat bahwa ijma’ menurut istilah ialah kesepakatan semua mujtahid di antara umat Islam pada suatu masa setelah kewafatan Rasulullah SAW atas hukum syar’i mengenai suatu kejadian atau kasus.
b.      Syarat-syarat Ijma’
Dari definisi ijma’ di atas dapat diketahui bahwa ijma’ itu bisa terjadi bila memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini:
Ø  Yang bersepakat adalah para Mujtahid
Ø  Yang bersepakat adalah seluruh Mujtahid
Ø  Para Mujtahid harus umat Nabi Muhammad SAW
Ø  Dilakukan setelah wafatnya Nabi
Ø  Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan hukum syariat
Ø  Adanya kesepakatan para Mujtahid dengan menampilkan pendapat masing-masing Mujtahid secara jelas mengenai suatu kejadian.
c.       Macam-macam Ijma’
Ijma’ bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu:
Ø  Ijma’ Sharih/Shorikh (The Real Ijma’)
Ø  Ijma’ Sukuti (The Silent Ijma’)
2.      QIYAS
a.      Pengertian Qiyas
Ø  Menurut Bahasa
Qiyas menurut bahasa adalah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya.
Ø  Menurut Istilah
Qiyas menurut Ulama Ushul ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.
b.      Rukun Qiyas
Ø  Ashl (pokok)
Ø  Far’u (cabang)
Ø  Hukum ashl, yaitu hukum syara’, yang ditetapkan oleh suatu nash
Ø  Illat yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl.
3.      ILLAT
a.      Pengertian Illat
Illat adalah sifat dalam hukum Ashal yang dijadikan dasar hukum.
b.      Syarat-syarat Illat
Ø  Hendaknya ia merupakan sifat yang nyata
Ø  Hendaknya ia merupakan sifat yang pasti
Ø  Hendaknya merupakan sifat yang sesuai
Ø  Hendaknya tidak merupakan sifat yang terbatas pada ashal
c.       Pembagian Illat
Ø  Al-Munasib al-Mu’tsir
Ø  Al-Munasib al-Mulaa’im
Ø  Al-Munasib al-Mursal
Ø  Al-Munasib al-Mulgha.
4.      ISTIHSAN
a.      Pengertian Istihsan
Ø  Menurut Bahasa
Istihsan menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu.
Ø  Menurut Istilah
Istihsan menurut istilah Ulama Ushul ialah berpindahnya seorang Mujtahid dari tuntunan Qiyas Jali (Qiyas nyata) kepada Qiyas Khafi (Qiyas samar). Atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya, dan dimenangkan baginya perpindahan ini.
b.      Macam-macam Istihsan
Dari definisi istihsan menurut syara’ maka jadi jelas bahwa al-Istihsan itu ada dua macam:
Ø  Memenangkan Qiyas Khafi atas Qiyas Jali dengan dalil
Ø  Mengecualikan Juz’iyah dari hukum Kulli dengan dalil.


REFERENSI

1). Khallaf, Abdul, Wahhab, Prof. Dr, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul Fiqh), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
2). Syafe’i, Rahmat, MA. Prof. Dr, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Sifat-Sifat Huruf

BAB I PENDAHULUAN A.       Latar Belakang Al-quran sebagai kitab yang berisi firman-firman Allah SWT. Sebagai umat islam sudah seharusnya kita menjaga kitab yang menjadi pedoman umat islam. Al-qur’an merupakan kalamullah maka dalah segi pembacaannya mempunyai tatacara membacanya dalam arti kata kita mengetahui ilmunya agar tidak terjadi salah arti dalam membaca Al—Qur’an serta bacaannya haruslah tartil. Atas dasar tersebut para ulama menciptakan sebuah disiplin ilmu dalam membaca Al-Qur’an yatu Ilmu Tajwid. Ilmu tajwid di dalamnya menerangkan hukum-hukum bacaan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam ilmu tajwid juga di bahas mengenai makhorijul huruf agar dalam segi pembacaannya ada perbadaan dalam semua huruf hijahiyah. Huruf hijahiyah mempunyai sifatul huruf dan sifat itulah yang membedakan masing-masing huruf hijahiyah. B.        Rumusan Masalah 1.       Ada berapa sifat-sifat huruf? 2.       Bagaimana cara mengucapkan atau melafalkan sifat-sifat huruf? BAB II

Makalah Peran dan Fungsi Media Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Masalah Media pembelajaran memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Penggunaan media pembelajaran yang kaya dan bervariasi, tidak saja membuat motivasi belajar meningkat, tetapi juga menjadikan hasil belajar lebih bermakna. Media pembelajaran dapat dimaknai sebagai semua bentuk perantara yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan atau menyebar ide, gagasan, atau pendapat sehingga ide, gagasan atau pendapat yang dikemukakan itu sampai kepada penerima yang dituju. Penggunaan media atau alat bantu disadari oleh banyak praktisi pendidikan sangat membantu aktivitas proses pembelajaran baik didalam maupun diluar kelas, terutama membantu dalam peningkatan prestasi belajar siswa dan membantu juga dalam pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Namun, dalam implementasinya tidak banyak guru yang memanfaatkannya, bahkan penggunaan metode ceramah (lecture method) monoton masih cukup populer dikalangan guru da

PROSES BELAJAR MENGAJAR DALAM PENDIDIKAN ISLAM

KATA PENGANTAR Puji dan Syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam semoga terlimpah curahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, kepada keluarga, para sahabatnya tabiin dan tabiat hingga sampai kepada kita sebagai umatnya. Alhamdulillah pada kesempatan ini penyusun telah menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Proses Belajar Mengajar dalam Pendidikan Islam”. Sebagai salah satu tugas kelompok mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam. Pada kesempatan ini penyusun sampaikan ucapan terima kasih kepada Dosen mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam, yang telah memberikan arahan sehingga tugas ini terselesaikan dengan baik. Tidak lupa kepada teman-teman mahasiswa yang telah memberikan dorongan semangat dan motivasi kepada penyusun. Penyusun menyadari bahwa dalam tugas ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Semoga dengan adanya makalah ini bisa dijadikan sebagai bahan kajian dan informasi kepada pihak-pihak yang akan mengembangkan lebih jauh untu