BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Konsep bahwa Islam sebagai agama wahyu yang mempunyai
doktrin-doktrin ajaran tertentu yang harus diimani, juga tidak melepaskan
perhatiannya terhadap kondisi masyarakat tertentu. Kearifan lokal (hukum) Islam
tersebut ditunjukkan dengan beberapa ketentuan hukum dalam al-Qur’an
yang merupakan pelestarian terhadap tradisi masyarakat pra-Islam.
S. Waqar Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat
memperhatikan tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi
jurisprudensi hukum Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh Nabi Muhammad saw.
Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam
sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para
sahabat atau masyarakat.
Sehingga sangatlah penting bagi umat muslim untuk mengetahui serta mengamalkan
salah satu metode Ushl Fiqh untuk meng-Istimbath setiap
permasalahan dalam kehidupan ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian ‘Urf ?
2. Apa Perbedaan antara Al-‘Adah dengan Al-‘Urf ?
3.
Apa saja Syarat-syarat ‘Urf ?
4. Apa saja
Klasifikasi ‘Urf ?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
1. Pengertian Urf
Secara bahasa “Al-adatu” terambil dari kata “al-audu” dan “al-muaawadatu”
yang berarti “pengulangan”, Oleh karena itu, secara bahasa al-’adah
berarti perbuatan atau ucapan serta lainnya yang dilakukan berulang-ulang
sehingga mudah untuk dilakukan karena sudah menjadi kebiasaan.
Menurut jumhur ulama, batasan minimal sesuatu itu bisa dikatakan sebagai
sebuah ‘adah adalah kalau dilakukan selama tiga kali secara berurutan.
Jadi arti kaidah ini secara bahasa adalah sebuah adat kebiasaan itu bisa
dijadikan sandaran untuk memutuskan perkara perselisisihan antar manusia.
2.
Perbedaan antara Al-‘Adah
dengan Al-‘Urf
Kata ‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan ‘adat
kebiasaan namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar,
ringkasnya: AI-’Urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal
sehat manusia.
Meskipun arti kedua kata ini agak
berbeda namun kalau kita lihat dengan jeli, sebenarnya keduanya adalah dua
kalimat yang apabila bergabung akan berbeda arti namun bila berpisah maka
artinya sama.
Dari keterangan di atas dapat
disimpulkan bahwa makna kaidah ini menurut istilah para ulama adalah bahwa
sebuah adat kebiasaan dan urf itu bisa dijadikan sebuah sandaran
untuk menetapkan hukum syar’i apabila tidak terdapat nash syar’i atau lafadh
shorih (tegas) yang bertentangan dengannya.
Perbandingan antara ’Urf dengan ’Adah
’Urf
|
’Adah
|
Adat memiliki makna yang lebih sempit
|
Adat memiliki cakupan makna
yang lebih luas
|
Terdiri dari ‘urf shahih dan fasid
|
Adat tanpa melihat apakah baik
atau buruk
|
‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak
|
Adat mencakup kebiasaan pribadi
|
|
Adat juga muncul dari sebab
alami
|
|
Adat juga bisa muncul dari hawa
nafsu dan kerusakan akhlak
|
3. SYARAT-SYARAT
‘URF
Tidak semua ‘urf bisa dijadikan sandaran hukum. Akan tetapi, harus
memenuhi beberapa syarat, yaitu:
- ’Urf itu berlaku umum. Artinya, ‘urf itu
dipahami oleh semua lapisan masyarakat, baik di semua daerah maupun pada
daerah tertentu. Oleh karena itu, kalau hanya merupakan ‘urf orang-orang
tententu saja, tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran hukum.
- Tidak bertentangan dengan nash syar’i. Yaitu ‘Urf yang selaras
dengan nash syar’i. ‘Urf ini harus
dikerjakan, namun bukan karena dia itu ’urf, akan tetapi karena
dalil tersebut. Misalnya:
‘Urf di masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan tempat tinggal untuk
istrinya. ‘Urf semacam ini
berlaku dan harus dikerjakan, karena Allah Azza wa Jalla berfirman:
(QS. athTholaq [65]:6). tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.
3.
‘Urf itu sudah berlaku sejak lama,
bukan sebuah ‘urf baru yang barusan terjadi. Misalnya:
Maknanya kalau ada seseorang yang mengatakan demi Allah, saya tidak akan
makan daging selamanya. Dan saat dia mengucapkan kata
tersebut yang dimaksud dengan daging adalah daging kambing dan sapi; lalu lima
tahun kemudian‘urf masyarakat berubah bahwa maksud daging adalah semua
daging termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut makan daging ikan, maka orang
tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya karena sebuah lafadh tidak
didasarkan pada‘urf yang muncul belakangan.
4.
Tidak berbenturan dengan tashrih.
Jika sebuah‘urf berbenturan dengan tashrih (ketegasan seseorang dalam
sebuah masalah), maka ‘urf itu tidak berlaku.
Misalnya:
Kalau seseorang bekerja di sebuah kantor dengan gaji bulanan Rp. 500.000,-
tapi pemilik kantor tersebut mengatakan bahwa gaji ini kalau masuk setiap hari
termasuk hari Ahad dan hari libur, maka wajib bagi pekerja tersebut untuk masuk
Setiap hari maskipun ‘urf masyarakat memberlakukan hari Ahad libur.
5.
‘Urf tidak berlaku atas sesuatu yang
telah disepakati
Hal ini sangatlah penting karena bila ada ’urf yang bertentangan
dengan apa yang telah disepakati oleh para ulama (dalam hal ini ’Ijma)
maka’urf menjadi tidak berlaku, terlebih bila’urf nya
bertentangan dengan dalil syar’i.
4.
KLASIFIKASI ‘Urf
Ø
Klasifikasi ‘Urf ditinjau
berdasarkan ruang lingkupnya, yaitu:
1.
‘Urf ‘am (umum). Yaitu
‘urf yang berlaku di seluruh negeri muslim, sejak zaman dahulu sampai saat ini.
Para ulama sepakat bawa ‘urf umum ini bisa dijadikan sandaran hukum.
2.
‘Urf khosh (khusus). Yaitu
sebuah ‘urf yang hanya berlaku di sebuah daerah dan tidak berlaku pada
daerah lainnya. ‘Urf ini diperselisihkan oleh para ulama apakah boleh
dijadikan sandaran hukum ataukah tidak.
Ø
Klasifikasi ‘Urf ditinjau
berdasarkan objeknya, yaitu:
1.
‘Urf Lafzhy (ucapan). Yaitu sebuah kata yang dalam masyarakat tententu dipahami bersama
dengan makna tertentu, bukan makna lainnya.‘Urf ini kalau berlaku umum
di seluruh negeni muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan
sandaran hukum.
2.
‘Urf Amali (perbuatan).
Yaitu Sebuah penbuatan yang sudah menjadi‘urf dan kebiasaan masyanakat
tertentu. Ini juga bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat‘urf lafzhy.
Ø
Klasifikasi ‘Urf ditinjau
berdasarkan diterima atau tidaknya, yaitu:
1.
‘Urf shahih ialah‘urf yang baik dan dapat diterima karena tidak bertentangan
dengan syara’.
2.
‘Urf bathil ialah‘urf yang tidak baik dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan syara’.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Karakteristik hukum Islam adalah syumul (universal) dan waqiyah
(kontekstual) karena dalam sejarah perkembangan (penetapan)nya sangat
memperhatikan tradisi, kondisi (sosiokultural), dan tempat masyarakat sebagai
objek (khitab), dan sekaligus subjek (pelaku, pelaksana) hukum. Perjalanan
selanjutnya, para Imam Mujtahid dalam menerapkan atau menetapkan suatu
ketentuan hukum (fiqh) juga tidak mengesampingkan perhatiannya terhadap
tradisi, kondisi, dan kultural setempat.
Tradisi, kondisi (kultur sosial), dan tempat merupakan faktor-faktor yang
tidak dapat dipisahkan dari manusia (masyarakat). Oleh karenanya, perhatian dan
respon terhadap tiga unsur tersebut merupakan keniscayaan.
Sehingga dengan metode al-’urf ini, sangat diharapkan berbagai macam
problematika kehidupan dapat dipecahkan dengan metode ushl fiqh salah
satunya al-’urf, yang mana ’urf dapat memberikan penjelasan lebih
rinci tanpa melanggar al-Quran dan as-Sunnah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Zuhaily,
Wahbah. Ushul Fiqh al-Islamy. Beirut: Dar el- Fikr al-Mu’ashir,
1424 H/2004 M
Khalaf, Abdul Wahab. Ilm Ushul Fiqh. Damaskus: Dar el-Qalam, 1398
H/1978 M
Komentar