BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah
Diera zaman moderenisasi saat
ini, banyak permasalahan-permasalahan baru yang timbul di dalam lingkungan
masyarakat, terutama masalah yang berbau agama, banyak hal yang perlu
pertinjauan oleh fikih. Semakin banyak permasalahan yang timbul maka harus
semakin banyak solusi yang didapat untuk menyelesaikan masalah, bagaimana cara
kita mencari jalan keluar, dan bagaimanakah bentuk jalan keluar yang baik.
Melihat fenomena ini penulis ingin sedikit membahas di dalam makalah ini
mengenai teori Maslahah Mursalah yang merupakan salah satu teori pemecahan
masalah di dalam ushul fiqih.
Rumusan Masalah
1. Pengertian Mashlahah Mursalah
2. Objek Mashlahah Mursalah
3. Kehujjahan Mashlahah Mursalah
4. Contoh Penerapan Mashlahah
Mursalah
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian
Mashlahah Mursalah
Dari segi bahasa, kata mashlahah
adalah lafadz manfa’at, baik artinya ataupun wajan-nya (timbangan kata), yaitu
kalimat mashdar yang sama artinya dengan kalimt ash-shalah, seperti halnya
lafadz manfa’at sama artinya naf’u. Bisa juga dikatakan bahwa mashlahah itu
merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari kata mashalil. Semuanya mengandung arti
adanya manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses, seperti
menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan penjagaan, seperti
menjauhi kemadaratan dan penyakit. Semua itu bisa dikatakan mashlahah.
Dengan demikian maksud dari
mashlahah mursalah adalah suatu kemasalahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada
pembatalnya. Tujuan utama maslahah
mursalah adalah kemaslahatan; yakni memelihara dari kemadaratan dan menjaga
kemanfaatannya.
Sedangkan alasan dikatakan
mursalah, karena syara’ memutlakannya bahwa didalamnya tidak terdapat kaidah
syara’ yang menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.
Maslahat Mursalah atau Istihlah
ialah maslahat – maslahat yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan syari’at Islam,
dan tidak ditopang oleh sumber dalil yang khusus, baik bersifat melegitimasi
atau membatalkan maslahat tersebut. Imam Malik adalah Imam Madzhab yang
menggunakan dalil Mashlahat Mursalah. Ia mengajukan 3 syarat yang dapat
dipahami melalui definisi diatas, yaitu :
1.
Adanya
penyesuaian antara Mashlahat yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri
sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at.
2.
Mashlahat
itu harus masuk akal, mempunyai sifat yang sesuai dengan pemikiran yang
rasional.
3.
Penggunaan
dalil maslahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang mesti
terjadi. Dalam pengertian, seandainya mashlahat yang dapat diterima akal itu
tidak diambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan. Allah Berfirman :
($tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3ø‹n=tæ ’Îû ÈûïÏd‰9$# ô`ÏB 8ltym 4 s
Dia sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS. Al – Hajj : 78 ).
Sumber hukum ini (Marsalah
Mursalah) termasuk sumber hukum yang masih dipertentangkan diantara ulama ahli
fiqh. Golongan madzhab hanafi dan Syafi’I tidak menganggap Mashlahat Mursalah
ini sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri, dan memasukkannya kedalam bab
(kategori) qiyas.
2. Objek
Mashlahah Mursalah
Dengan memperhatikan beberapa
penjelasan diatas dapat diketahui bahwa lapangan Mashlahah Mursalah selainyang
berlandaskan pada hokum syara’ secara umum, juga harus diperhatikan adat dan
hubungan antara satu manusia dengan yang lain. Lapangan merupakan pilihan utama
untuk mencapai kemashlahatan. Sengan demikian, segi ibadah tidak termasuk dalam
lapangan tersebut.
Secara ringkas, dapat dikatakan
bahwa Mashlahah Mursalah itu difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat
dalam Nash; baik dalam Al- Qur’an maupun As-Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum
yang ada penguatnya melalui I’tibar. Juga di fokuskan pada hal-hal yang tidak
didapatkan adanya ijma atau qiyas yang berhubungan dengan kejadian tersebut.
3. Kehujjahan
Mashlahah Mursalah
Dalam
kehujjahan maslahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama
ushul di antaranya:
Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan ahli zahir. Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulama syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah mensyaratkan tentang mashlahah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehingga dalam hubungan hukum itu terdapat tempat untuk merealisir kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan syara`, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan syara` ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam soal pengakuan Syari` (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya hukum, yang merealisir kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada maslahah mursalah yang tidak memiliki dalil yang mengakukebenarannya.
Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah `` Sesungguhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka membedakn antara satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat``. Diantara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahahan. Kalau memang mereka diutus demi membawa kemaslahahn manusia maka jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara`/agama mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan umat manusia
Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama syafi`iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan ahli zahir. Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki dan sebagian ulama syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah mensyaratkan tentang mashlahah ini, hendaknya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang dapat diqiyaskan kepadanya dan juga terdapat illat mudhabit (tepat), sehingga dalam hubungan hukum itu terdapat tempat untuk merealisir kemaslahatan. Berdasarkan pemahaman ini, mereka berpegang pada kemaslahatan yang dibenarkan syara`, tetapi mereka lebih leluasa dalam menganggap maslahah yang dibenarkan syara` ini, karena luasnya pengetahuan mereka dalam soal pengakuan Syari` (Allah) terhadap illat sebagai tempat bergantungnya hukum, yang merealisir kemaslahatan. Hal ini hampir tidak ada maslahah mursalah yang tidak memiliki dalil yang mengakukebenarannya.
Imam Al-Qarafi berkata tentang maslahah mursalah `` Sesungguhnya berhujjah dengan maslahah mursalah dilakukan oleh semua mazhab, karena mereka membedakn antara satu dengan yang lainnya karena adanya ketentuan-ketentuan hukum yang mengikat``. Diantara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan maslahah mursalah ialah Imam Malik dengan alasan; Allah mengutus utusan-utusannya untuk membimbing umatnya kepada kemaslahahan. Kalau memang mereka diutus demi membawa kemaslahahn manusia maka jelaslah bagi kita bahwa maslahah itu satu hal yang dikehendaki oleh syara`/agama mengingat hukum Allah diadakan untuk kepentingan umat manusia
baik dunia maupun akhirat.
4.
Contoh Penerapan Mashlahat Mursalah
Seperti yang telah penulis sebutkan sebelumnya,
banyak sekali contoh-contoh permasalahan yang diselesaikan dengan melihat
maslahatnya. Sebagai satu contoh, ketika terjadi perang melawan nabi nabi palsu
pada zaman khalifah Abu Bakar, seiring dengan banyaknya para Huffazh Al-Qur’an
wafat Abu Bakar mulai mengumpulkan berkas-berkas yang tercecer menjadi suatu
tulisan Al-Qur’an atas usulan dan desakan sahabat Umar bin Khattab. Beliau juga
memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Bahkan, menjelang ajal
menghampiri beliaupun sempat berwasiat agar beliau digantikan oleh sahabat Umar
bin Khattab sebagai khalifah.
Contoh lain dari penerapan maslahah mursalah
ini ialah Umar menetapkan jatuhnya talaq tiga dengan sekali ucapan, menetapkan
kewajiban pajak, menyusun administrasi, membuat penjara. Bahkan, Umar
menghentikan hukuman potong tangan terhadap pencuri. Hal itu terjadi ketika di
Madinah dirundung
musim paceklik yang menyebabkan terjadinya krisis pangan.
Dengan demikian, semua bentuk kemaslahatan
tersebut menjadi tujuan diundangkannya hukum-hukum sebagai kemaslahatan umum.
Hal ini bisa dilakukan selama tidak ada dalil syara’ yang menolaknya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari beberapa penjelasan di atas, kita dapat
menarik kesimpulan bahwa selama tidak ada nash yang menunjang hukum suatu
perkara, mashlahah mursalah bias dijadikan hujjah untuk meng-istinbath
hukumnya. Tentunya dengan beberapa syarat yang telah disebutkan di atas. Jika dicermati lebih dalam
ternyata seluruh madzhab menggunakan maslahat Mursalah dalam memngambil
isthinbath hukum. Hal ini terlihat ketika mereka menggunakan pendekatan qiyas,
digunakan pendekatan sifat munasib yang tidak menganggap perlu adanya dalil.
Sifat munasib inilah yang sebenarnya yang disebut maslahah mursalah.
Jadi, sebenarnya akar perbedaan pendapat
mengenai maslahah muraslah sebagai hujjah syar’iyah terletak pada sisi
pandangan mereka terhadap maslahah mursalah. Golongan yang dimotori Imam Malik
serta Imam Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa maslahat yang mereka pakai berpijak
pada syarat-syarat yang dibenarkan oleh syara’ bukan berdasarkan hawa nafsu
atau menyimpang dari kebenaran sebagaimana pandangan kelompok yang menentang
kehujjahan maslahah mursalah. Sedangkan golongan yang diwakili madzhab Hanafi,
Syafi’i dan Madzhab Zahiri menekankan kehati-hatian dengan berbagai persyaratan
maslahah yang sesuai dengan tujuan syari’at. Banyak persoalan baru bisa
dikategorikan Maslahah Mursalah. Artinya persoalan baru itu memang mengandung maslahat
dan dibutuhkan manusia dalam membangun kehidupan mereka, tetapi tidak ditemukan
dalil yang mengakui ataupun menolaknya. Seiring dengan perjalanan waktu, hal
ini akan terus berlangsung sepanjang masa dengan berbagi perbedaan latar
belakang sosial budaya. Dengan demikian, untuk mengatasinya persoalan ini tidak
lain tentulah pendekatan yang digunakan hanyalah dengan pendekatan maslahah
mursalah.
Prof. Muhammad Abu Zahra M.A, Ushul Fiqh 1
Prof. Dr. Rahmat Syafe’I M.A, Ilmu Ushul Fiqh
‘Abdu Rabbuh, Buhust fi al-Adillah, 101.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh (Dar al-Fikr
Al-Islamiy) 284.
Abu Zahrah, Ushul, 285.
Abu Zahrah, Ushul, 285.
Komentar