KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah,
kami ingin mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah
memberi nikmat pada kami sehingga Makalah ini dapat diselesaikan. Kami juga
ingin mengucapkan terima kasih bagi seluruh pihak yang telah membantu kami
dalam pembuatan Makalah ini dan berbagai sumber yang telah kami pakai. Kami
mengakui bahwa kami adalah manusia yang mempunyai keterbatasan dalam berbagai
hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat
sempurna. Begitu pula dengan makalah ini
yang telah kami selesaikan. Tidak semua hal dapat kami deskripsikan dengan
sempurna dalam makalah ini. Kami melakukannya semaksimal mungkin dengan kemampuan yang kami miliki,
karena kami juga memiliki keterbatasan kemampuan.
Maka dari
itu seperti yang telah dijelaskan bahwa kami memiliki keterbatasan dan juga
kekurangan, kami bersedia menerima kritik dan saran dari pembaca yang budiman.
Kami akan menerima semua kritik dan
saran tersebut sebagai batu loncatan yang dapat memperbaiki makalah kami di
masa datang. Semoga makalah berikutnya dan makalah yang lain dapat diselesaikan
dengan hasil yang lebih baik.
Dengan
menyelesaikan makalah ini kami mengharapkan banyak manfaat yang dapat dipetik
dan diambil dari makalah ini. Semoga dengan adanya materi dalam makalah ini
dapat menambah wawasan kita semua.
Karawang, 18
Maret 2012
Hormat
kami,
Penyusun
_________________________________________________________________________________
BAB
I
PENDAHULUAN
·
Latar Belakang Masalah
Falsafat atau filsafat
adalah merupakan kata yang berasal dari bahasa yunani yaitu philosophia sebagai
gabungan dari philein yang berarti” cinta “ dan shoppos yang berarti “ hikmah
“. Kemudian philosophia masuk kedalam bahasa arab menjadi Falsafat yang berarti
cara berfikir menurut kogika dengan bebas, sedalam –dalamnya sampai kepada
dasar persoalan.
Dari segi praktisnya berfilsafat berarti “ berfikir “ . filsafat berarti “ alam fikiran “ atau alam berfikir”. Namun demikian tidak semua berfikir berarti berfilsafat.Sidi Gazalba mengartikan “ berfilsafat “ berarti mencari kebenaran untuk kebenaran tentang segala sesuatu yang dimasalahkan,berfikir secara radikal, sistematis,dan universal. Dapatlah dikatakan bahwa intisari filsafat ialah berfikir secara logika dengan bebas ( tidak terikat pada tradisi, dogma dan agama ) dan dengan sedalam – dalamnya sehingga sampai ke dasar – dasar persoalan.
Dari segi praktisnya berfilsafat berarti “ berfikir “ . filsafat berarti “ alam fikiran “ atau alam berfikir”. Namun demikian tidak semua berfikir berarti berfilsafat.Sidi Gazalba mengartikan “ berfilsafat “ berarti mencari kebenaran untuk kebenaran tentang segala sesuatu yang dimasalahkan,berfikir secara radikal, sistematis,dan universal. Dapatlah dikatakan bahwa intisari filsafat ialah berfikir secara logika dengan bebas ( tidak terikat pada tradisi, dogma dan agama ) dan dengan sedalam – dalamnya sehingga sampai ke dasar – dasar persoalan.
Agama yang berarti menguasai
diri seorang dan membuat ia tunduk dan patuh kepada tuhan dengan menjalankan
ajaran agama. intisari yang terkandung didalamnya adalah “ ikatan “. Agama
mengandung arti ikatan – ikatan yanag harus dipegang dan dipatuhi manusia.
Karena mempunyai pengaruh dalam aktivitas manusia. Dan ikatan itu, mempunyai
kekuatan gaib yang tak dapat ditangkap dengan panca indra.
Filsafat bagi al-kindi ialah
pengetahuan tentang yang benar. Disinilah terdapat persamaan filsafat dan
agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yang benar apa yang baik.demikian
halnya filsafat. Agama, disamping wahyu, mempergunakan akal,dan filsafat juga
menggunakan akal. Yang benar pertama bagi al-kindi ialah Tuhan dan filsafat
yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan. Bahkan al-kindi berani
mengatakan bagi orang yang menolak filsafat, telah mengingkari kebenaran, dan
menggolongkannya kepada “kafir”, karena orang – orang tersebut telah jauh dari
kebenaran, walaupun menganggap dirinya paling benar. Karena keselarasan antara
filsafat dan agama didasarkan pada tiga alasan:(1) ilmu agama merupakan bagian
dari filsafat, (2) wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat
saling bersesuaian dan,(3) menurut ilmu, secara logika, diperintahkan
dalamAgama.
·
Rumusan Masalah
Bagaimana Biografi Singkat Tentang Al-Kindi?
Bagaimana Pemikiran Filsafat Al-Kindi?
Bagaimana Karya-karya Al-Kindi?
BAB
II
PEMBAHASAN
v SEJARAH SINGKAT TENTANG
AL-KINDI
Al-Kindi
memiliki nama lengkap, yaitu Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi. Lahir di kota
Kufah, Irak pada tahun 801 M/185 H. Al-Kindi merupakan seorang bangsawan.,
gelar al-Kindi dinisbatkan pada nama suku Kindah di wilayah Arabia
Selatan.Ayahnya, Ishaq, adalah gubernur Kufah di masa pemerintahan al-Mahdi
(775-785) dan al-Rasyid (786-809). Al-Kindi adalah filosof Arab pertama yang
memelopori penerjemahan sekaligus mengenalkan tulisan atau karya-karya para
filosof Yunani seperti Aristoteles dan Plotinus, Sayangnya ada sebuah karya
Plotinus yang di terjemahkannya sebagai karangan Aristoteles dan berjudul
”Teologi menurut Aristoteles”, sehingga di kemudian hari ada sedikit
kebingungan. Al-Kindi banyak berperan terutama pada abad pertengahan di masa
pemerintahan khalifah al-Ma`mun (813-833) yang mengundangnya untuk mengajar di
Baitul Hikmah. Al-Kindi hidup di masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, mulai
dari khalifah al-Amin (809-813), al-Ma`mun (813-833), al-Mu’tashim (833-842),
al-Watsiq (842-847), dan al-Mutawakkil (847-861). Al-Kindi hidup dalam
atmosfer intelektualisme yang dinamis saat itu, khususnya di Baghdad dan Kufah,
yang berkembang beragam disiplin ilmu pengetahuan: filsafat, geometri,
astronomi, kedokteran, matematika, dan sebagainya. Al-Kindi tidak hanya dikenal
sebagai penerjemah, tetapi juga menguasai beragam disiplin ilmu lainnya,
seperti kedokteran, matematika, dan astronomi. Al-Kindi berhasil mengubah
sekaligus mengembangkan beberapa istilah yang menarik perhatian para filosof
sesudahnya, seperti: kata al-jirm menjadi al-jism; kata at-tawahhum (imaginasi)
menjadi at-takhayyul; kata at-thīnah
menjadi al-māddah; dan sebagainya.
Ketika
khalifah al-Mutawakkil memerintah, mazhab resmi negara (yang sebelumnya
menganut mazhab/aliran Mu’tazilah) diganti menjadi Asy’ariyah. Dua orang putra
Ibnu Syakir, Muhammad dan Ahmad, mencoba menghasut al-Mutawakkil dengan
mengatakan bahwa orang yang mempelajari filsafat cenderung kurang hormat pada
agama. Al-Mutawakkil kemudian memerintahkan agar al-Kindi didera dan
perpustakaannya yang bernama Kindiyyah disita (meski kemudian dikembalikan).
Al-Kindi meninggal pada tahun 866 M/252 H.
v PEMIKIRAN FILSAFAT AL-KINDI
Menurut
al-Kindi, agama dan filsafat tidak mungkin bertentangan. Agama di samping
sebagai wahyu juga menggunakan akal, dan filsafat juga menggunakan akal. Yang
benar pertama (al-Haqq al-Awwal) adalah Tuhan. Dalam hal ini, filsafat juga
membahas soal Tuhan dan agama. Dan filsafat paling tinggi adalah filsafat
tentang Tuhan (seperti filsafat skolastik). Bagi al-Kindi, orang yang menolak filsafat
bisa dianggap kafir, karena dia telah jauh dari kebenaran, meskipun dirinya
menganggap paling benar.1
Apabila
terjadi pertentangan antara nalar logika dengan dalil-dalil agama dalam
al-Qur`an, mestinya ditempuh dengan jalan ta`wīl
yaitu interpretasi, kontekstualisasi, atau rasionalisasi atas teks-teks
keagamaan. Hal ini karena dalam bahasa (termasuk bahasa Arab), terdapat dua
makna: makna hakiki (hakikat, esensi) dan makna majasi (figuratif, metafora).
Namun demikian, menurut Al-Kindi, memang terdapat perbedaan dari segi sumber
data atau informasi antara agama dan filsafat. Agama diperoleh melalui wahyu
tanpa proses belajar. Sedang filsafat diperoleh melalui proses belajar antara
lain berpikir dan berkontemplasi. Sedangkan dari segi pendekatan dan metode,
agama dilakukan dengan pendekatan keimanan, sedang filsafat dilakukan dengan
pendekatan logika.
Al-Kindi
juga menyinggung soal jiwa manusia. Menurutnya, jiwa tidak tersusun,
substansinya adalah ruh yang berasal dari substansi Tuhan. Dalam hal jiwa, al-Kindi
lebih dekat dengan pandangan Plato yang mengatakan bahwa hubungan antara jiwa
dan badan bercorak accidental (al-‘aradh). Al-Kindi berbeda dari Aristoteles
yang berpendapat bahwa jiwa adalah form dari badan. Menurut Al-Kindi, jiwa
memiliki 3 daya, antara lain 1. jiwa bernafsu (al-quwwah asy-syahwāniyyah),
2. jiwa memarah (al-quwwah al-ghadhabiyyah) dan 3. jiwa berakal (al-quwwah
al-‘aqilah). Selama ruh atau jiwa berada di badan, ia tidak akan menemukan
kebahagiaan hakiki dan pengetahuan yang sempurna. Setelah bepisah dari badan
dan dalam keadaan suci, ruh akan langsung pergi ke “alam kebenaran” atau “alam
akal” di atas bintang-bintang, berada dilingkungan cahaya Tuhan dan dapat
melihat-Nya. Di sinilah letak kesenangan hakiki ruh. Namun jika ruh itu kotor,
ia akan pergi terlebih dahulu ke bulan, lalu ke Merkuri, Mars, dan seterusnya
hingga Pluto; kemudian terakhir akan menetap ke dalam “alam akal” di lingkungan
cahaya Tuhan. Di sanalah jiwa akan kekal abadi di bawah cahaya Tuhan. Bagi yang
berbuat durhaka dan kejahatan di dunia, jiwa (ruh) manusia akan jauh dari
cahaya Tuhan sehingga dia akan sengsara. Bagi manusia yang berbuat kebajikan,
jiwa (ruh) yang dikandungnya dahulu ketika di bumi, akan dekat dengan cahaya
Tuhan dan akan hidup bahagia di sisi-Nya. Al-Kindi juga mengungkapkan tentang
makna kesedihan yang menimpa pada kebanyakan manusia. Menurutnya, kesedihan
yang ditimbulkan oleh manusia dan ditimpakan pada dirinya. Bukanlah sesuatu
yang alami. Al-Kindi berkata, “Orang yang bersedih hati karena kehilangan
miliknya atau gagal memperoleh sesuatu yang dicarinya, kemudian merenungkan
kesedihannya secara filosofis lalu dia mengerti bahwa penyebab kesedihannya itu
bukanlah keharusan, lalu dia saksikan banyak orang yang tidak memiliki harta
itu tapi mereka tidak sedih, bahkan gembira dan bahagia, dia tak pelak lagi
akan tahu bahwa kesedihan bukanlah hal yang niscaya dan tidak alami.”
Ini
berarti kesedihan merupakan sikap mental kita menghadapi kondisi lingkungan.
Banyak orang yang dirundung kemiskinan tapi hatinya bahagia, sedangkan orang
kaya hatinya belum tentu bahagia. Karena kekayaan materi belum tentu
membahagiakan ruhani. Ini misalnya dapat kita saksikan orang-orang yang
kehilangan anak, saudara maupun teman mereka, hingga terlihat betapa sedihnya mereka?
Namun tak lama berselang, mereka pun kembali senang dan tertawa, bahagia, lalu
pulih kembali seperti orang yang tak pernah bersedih hati sama sekali.Begitu
pula orang yang kehilangan harta atau benda apa saja yang didambakan manusia,
yang bila benda itu hilang dia jadi kecewa dan sedih hati. Orang seperti itu
akhirnya gembira, lenyap kesedihannya, lalu bahagia lagi. Kalaulah seorang yang
berakal mau mengamati secara cermat kondisi yang kerap terjadi dalam masyarakat
banyak di saat mereka sedih, dan mengamati sebab-sebab yang melatarbelakanginya
akan terlihat olehnya bahwa musibah tertentu tidak hanya menimpa dirinya saja
dan bahwa akhir dari musibahnya adalah kegembiraan. Demikian juga kesedihan
adalah penyakit aksidental yang sama buruknya dengan penyakit yang ditimpakan
manusia atas dirinya sendiri yang tidak alami seperti penyakit fisik.Kesadaran
akan pentingnya nilai spiritual dibandingkan material ini tumbuh seiring dengan
pertumbuhan alamiah jiwa yang dimulai di dalam rahim, ketika Allah meniupkan
ruh-Nya sendiri ke dalam tubuh. Ruh ini, yang turun melalui alam
Alastu, merupakan cahaya yang murni dan hidup, sedangkan tubuh adalah
tanah gelap dan mati. Penyatuan ruh dan raga membangkitkan daya jiwa, yang
mencakup dua dunia, spiritual dan material. Jiwa adalah perantara yang
melaluinya ruh yang murni dan transenden dihubungkan dengan raga yang fana. Ia
adalah jumlah keseluruhan kehidupan dan kesadaran yang muncul pada pertemuan
cahaya dan jasad. Hanya jiwa yang lebur ke dalam dunia, namun secara batin terbuka
bagi Yang Tak terbatas.Terbukanya jiwa pada Yang Tak Terbatas akan menumbuhkan
sebuah kesadaran spiritual. Kesadaran inilah yang menjadikan manusia mempunyai
sikap bijaksana, tidak dengki, kesadaran kemanusiaan dan berorientasi pada yang
kekal dan rohani. Dengan kesadaran seperti ini maka kita seharusnya menyadari
bahwa di alam ini tidak ada yang kekal.
Al-kindi
juga mengalami kemajuan pikiran islam dan terjemah buku-buku asing kedalam
bahasa arab,bahkan ia ter masuk pelopornya ,Bermacam –macam ilmu telah
dikajinya,terutama filsafat,dalam suasana yang penuh pertentangan agama dan
mazhab,dan yang dibanjiri oleh golangan Mu’tazilah serta ajaran-ajaran
Syi’ah.Karangan-karangan Al-kindi yang terkenal diketemukakan oleh seorang ahli
ketimuran Jerman,yaitu Hillmuth Ritter,di perpustakan Aya Sofia,Istambul ,dan
tewrdiri dari 29 risalah.Risalah-risalah ini membicarakan soal-soal alam dan
filsafat,antara lain keeasan tuhan,akal,jiwa,filsafat pertama.Risalah-risalah
twrsebut sudah di terbitkan di mesir oleh M.Abdul-Hadi Aburaidah
Unsur-unsur filsafat pada pemikiran al-kindi
ialah:
Ø Aliran
Pythagoras tentang matemaika sebagai jalan kearah filsafat
Ø Pikiran-pikiran
Aristoteles dalam soal-soal fisika dan metafisika meskipun al-kindi tidak
sepakat dengan Aristoeles tenang qadimnya alam.
Ø Pikiran-pikiran
Plato salam soal kejiwaan.
Ø Pikiran-pikiran
Plato dan Aristoteles bersama-sama dalam soal etika.
Ø Wahyu
dan iman (ajaran –ajaran agama) dalam soal-soal yang berhubungan dengan Tuhan
dan sifat-sifat-Nya.
Ø Aliran
Mu’tazilah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalm menakwilkan ayat-ayat
Quran.
Pemikiran al-Kindī Tentang Konsep Tuhan
Tuhan menurut Al-Kindi
adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan itu Esa, Azali, ia unik.
Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Ia hanyalah keEsaan
belaka, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak. Pembahasan utama
filasfatnya adalah tentang konsep ketuhanan. Karena filsafat menurutnya, adalah
menyelidiki kebenaran, maka filafat pertamanya adalah pengetahuan tentang
Allah. Allah adalah Kebenaran Pertama (al-Haqq al-Awwal), Yang Benar Tunggal
(al-Haqq
al-Wāhid) dan penyebab semua kebenaran. Dengan demikian corak filsafat
al-Kindī
adalah teistik, semua kajian tentang teori-teori kefilsafatannya mengandung
pendekatan yang teistik. Untuk itu, sebelum memulai kajian tentang teori
filsafat, ia membahas filsafat metafisika, dan konsep Tuhan[2].
Argumentasi kosmologis
tampaknya mendominasi pemikiran al-Kindī dalam menjelaskan ketuhanan. Bagi al-Kindī, Allah adalah
Penyebab segalanya dan penyebab kebenaran. Untuk mengatakan bahwa Allah adalah
penyebab segala kebenaran adalah sama saja dengan mengatakan bahwa Allah adalah
penyebab dari semua ini. Sebab dari segala sebab itu adalah Allah. Sebab itu
hanya satu, tidak mungkin banyak. Alam semesta berjalan secara teratur atas
dasar sebab Dzat yang Satu. Sehingga konsep sentral dalam teologi Filsafat
Pertamanya adalah tentang keesaan. Teologi filsafat al-Kindī memiliki dua aspek
utama; pertama, membuktikan harus ada yang Satu yang Benar (the true one), yang merupakan
penyebab dari segala sesuatu dan mendiskusikan kebenaran the True One ini[3].
Pertama-tama al-Kindī menjelaskan bahwa
tidak ada yang bisa menjadi penyebabnya sendiri. Ia mengungkapkan, benda-benda
di alam ini merupakan juz’iyyāt (particular). Kajian filsafat ketuhannannya bukanlah pada juziyyāt yang jumlahnya tak
terbatas itu, akan tetapi yang paling penting dalam falsafahnya adalah hakikat
dalam partikular itu, yakni kulliyāt (universal). Tiap-tiap benda memiliki dua hakikat,
hakikat sebagai juz’i yang disebut al-aniyah dan hakikat kulli yang disebut māhiyah yakni hakikat yang
bersifat universal dalam bentuk genusdan spesies.[4]
Tuhan tidak mempunyai
hakikat dalam arti aniyah atau mahiyah, karena Ia bukan
termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam. Tuhan juga tidak mempunyai
bentuk mahiyah karena Tuhan tidak
termasuk genus atau spesies. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang srupa dengan
Tuhan. Ia Dzat yang unik, yang lain bisa mengandung arti banyak.
Al-Kindī berpendapat bahwa
setiap jenis predikat menunjukkan kesatuan dan keanekaragaman. Misalnya hewan,
adalah salah satu genus, tetapi terdiri dari sebuah keragaman spesies. Manusia
adalah satu spesies tetapi terdiri dari banyak individu dan manusia yang
tunggal adalah salah satu individu dari individu-individu yang lain terdiri
dari banyak bagian tubuh. Selanjutnya, ia beragurmen, keragaman itu memiliki
hubungan produk integral. Satu bagian, bukanlah disebabkan oleh stipan
serangkaian bagian yang lain. Berarti, harus ada penyebab luar untuk semua
keanekaragaman yang integral tersebut, penyebab itu satu, eksklusif dan
sepenuhnya bebas dari keragaman yang multi genus. Yang Satu itulah Yang Benar,
yang tidak lain adalah Tuhan.
Wujud Tuhan itu adalah
eksklusif, yang berbeda dengan yang lain. Sifat, Wujud, eksistensi dan
keberadaan sama sekali tidak bisa dipahami secara penuh oleh akal manusia.
Maka, baginya, untuk memahami itu semua, maka diturunkanlah Nabi, sebagai
utusan Allah, yang akan menjelaskan hal-hal yang tidak mampu disingkap oleh
akal manusia. Penjelasan Allah yang dibawa oleh Nabi melalui media yang
dinamakan wahyu. Al-Kindī,
secara jelas meyakini bahwa rasio manusi memiliki sisi kelemahan. Karena
kelemahan itulah, tidak semua pengetahuan tidak bisa ditangkap oleh akal. Maka
untuk membantu pemahaman yang tidak bisa dijelaskan akal maka, manusia perlu
dibimbing oleh wahyu. Hanya saja, dalam aspek penjelasan sifat-sifat Tuhan,
al-Kindī masih terpengaruh oleh
Mu’tazilah dan Aristoteles. Hal itu misalnya, dilihat dari penjelasannya bahwa
sifat-sifat Tuhan diungkapkan dengan bentuk kalimat negatif, yaitu dengan
ungkapan “tidak” atau “bukan”. Bawa Tuhan itu tidak seperti manusia[5].
Tidak seperti
Aristoteles, al-Kindī
mengatakan bahwa Tuhan adalah pencipta, bukan penggerak Pertama. Ia tidak
tersusun dari materi dan bentuk, tidak bertubuh. Tuhan adalah Penyebab dari
segala sebab. Setelah melakukan sebab itu, Tuhan tetap melakukan sesuatu (‘Illah al-Fā’ilah). Disini Tuhan tidak
diposisikan seperti konsep Aristoteles, yang mengatakan Tuhan tidak bergerak,
sehingga ia tidak melakukan sesuatu apapun setelah emanasi. Sehingga Tuhan
dalam pemahaman Aristoteles tidak memahami yang partikular. Berbeda dengan
al-Kindī,
menurutnya Tuhan tetap melakukan sesuatu.[6]
Al-Kindī menyebut, Tuhan yang
seperti ini dinamakan agen yang benar. Dia menjadi penyebab dan
bertindak aktif. Tuhan adalah
pelaku yang sebenarnya, sedangkan yang lain adalah pelaku yang metaforis (agen
kiasan). Karena, keduanya bertindak dan ditindaklanjuti. Berkaitan dengan teori
penciptakan, al-Kindī
memiliki keunikan tersendiri. Ia membagi alam menjadi dua, alam atas dan alam
bahwah. Secara general, wujud alam tersebut disebabkan oleh Penyebab Pertama,
yaitu Tuhan.
Proses keberadaan
antara wujud alam atas dan alam bawah ini berbeda Alam atas yang terdiri dari
wujud spiritual, seperti akal, jiwa dan ruh. Sedangkan alam bahwah adalah
teridiri dari wujud badaniyah manusia, materi bentuk alam dunia dan lain sebagainya.
Alam atas sebagai wujud spiritual keberadaanya tidak melaui prosep penciptaan (creation/khalq), akan tetapi ia ada
melalui emanasi. Sedangkan alam bawah keberadaannya melalui proses penciptaan[7].
Namun, analisis secara
umum al-Kindī
tetap dikatakan bahwa Tuhan baginya adalah pencipta bukan penggerak pertama.
Konsep Tuhan sebagai penggerak pertama adalah konsep Aristoteles. Di sini ia
berseberangan dengan Aristoteles. Maka, bagi al-Kindī alam dunia mempunyai
permulaan, ia diciptakan dari ketiadaan. Alam menurut al-Kindī tidak qadīm. Sedangkan menurut Aristoteles
alam adalah qadīm. Yang beremanasi dari
sebab pertama adalah alam, dalam arti alam atas tadi[8].
Alam atas, pada
mulanya beremanasi dari Sebab Pertama, bergantung dan berkaitan dengan al-Haq. Tetapi terpisah
dari-Nya, karena alam terbatas dalam ruang dan waktu. Berarti, akal atau jiwa
setelah terpisah, benar-benar substansi, essensinya berbeda dengan Tuhan.
Setelah beremanasi, wujud intelek dan jiwa tadi memiliki genus, spesises,
diferensia, sifat dan aksiden. Maka setiap benda terdiri atas materi dan
bentuk, terbatas raung dan bergerak dalam waktu. Ia dzat yang terbatas,
meskipun benda tersebut adalah wujud dunia. Karena terbatas, ia tidak kekal.
Hanya Allah-lah yang kekal[9].
Sedang alam dalam
konsep Aristoteles, terbatas oleh ruang, tetapi tak terbatas oleh waktu. Sebab
gerak alam seabadi dengan Sang Penggerak Tak Tergerakkan (Unmomed Mover). Tuhan bagi Aristoteles
adalah Penggerak, akan tetapi Tak Tergerakkan, sebab baginya, jika Tuhan
bergerak, maka ia akan berbilang, karena setiap gerak akan melahirkan sifat
baru. Terbilangnya sifat menjadikan terbilangnya dzat[10].
Teori keabadian alam
al-Kindī
juga berbeda dengan filosof muslim paripatetik setelahnya. Keabadian alam
ditolak oleh al-Kindī,
karena alam ini diciptakan. Mengenai hal ini, ia memberikan pemecahan yang
radikal, dengan membahas gagasan tentang ketakterhinggaan secara matematik.
Benda-benda fisik teridiri atas materi dan bentuk, dan bergerak di dalam ruang
dan waktu. Jadi, materi, bentuk, ruang dan waktu merupakan unsur dari setiap fisik.
Wujud, yang berkait erat dengan fisik, waktu dan ruang adalah terbatas, karena
mereka takkan ada, kecuali dalam keterbatasan.
Waktu bukanlah gerak,
melainkan bilangan pengukur gerak karena waktu tidak lain adalah yang dahulu
dan yang kemudian. Bilangan ada dua macam, yaitu tersendiri dan
berkesinambungan. Waktu bukanlah bilangan tersendiri, tetapi berkesinambungan.
Oleh sebab itu, waktu dapat ditentukan, yang berporoses dari dulu hingga kelak.
Dengan kata lain, waktu merupakan jumlah yang dahulu dan yang berikutnya, yang
berkesinambungan. Waktu adalah bagian dari pengetahuan tentang kuantitas.
Ruang, gerak dan waktu adalah kuantitas[11].
BAB
III
KESIMPULAN
Sebagaimana telah diketahui, Al-Kindi
banyak mempelajari filsafat Yunani, maka dalam pemikirannya banyak kelihatan
unsur-unsur filsafat Yunani itu. Oleh karena pemikiran Al-Kindi banyak mendapat
pengaruh filsafat Yunani, maka sebagian penulis berpendapat bahwa al-Kindi mengambil
alih seluruh filsafat Yunani.
Tetapi bila pemikirannya dipelajari dengan
seksama, tampak bahwa pada mulanya Al-Kindi mendapat pengaruh pikiran filsafat
Yunani, tetapi akhirnya ia mempunyai posisi sendiri. Yang diadopsi oleh
al-Kinī adalah peminjaman istilah seperti istilah
Filsafat Pertama oleh al-Kindī
dalam karyanya dinamakan al-Falsafah al-‘Ūlā,
sifat Tuhan diungkapkan dengan ungkapan-ungkapan negative, serta pembagian alam
atas dan alam bawah, agen pertama sebagai Sebab Pertama adalah teori yang diambil
dari Neoplatinus. Kesimpulan genaralnya, yang dilakukan al-Kindi adalah adapsi,
buktinya ia memiliki gagasan-gagasan baru yang ternyata bersebrangan dengan
Aristoteles. Ternyata, sumber utama perbedaaan tersebut pada aspek yang sangat
elementer dalam filsafat, yakni konsep Tuhan. Filsafat Ketuhanan al-Kindi
berasas metafisika, sedangan filsafat Aristoteles di bangun di atas teori
fisika belaka. Ini berarti, konsep Tuhan al-Kindi berdasarkan wahyu sedangan
pandangan Aristoteles yang anti-metafisik menelurkan sekularisme.
Karena sumber perbedaan itu dari hal yang
paling mendasar, maka secara otomatis konsep-konsep lainnya juga akan berbeda.
Sebab, bagi al-Kindi, filsafat paling utama adalah mencari yang benar, yakni
konsep tentang ketuhanan. Dari beberapa pemikiran filsafat yang ditekuni,
akhirnya Al-Kindi berkesimpulan bahwa filsafat Ketuhananlah yang mendapat
derajat atau kedudukan yang paling tinggi dibandingkan dengan lainnya. Ia
memandang pembahasan mengenai Tuhan adalah sebagai bagian filsafat yang paling
tinggi kedudukannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad
Lutffi Jum’ah, Tarikh Falasifah Al Islam, (Mesir, 1927)
Peter
F.E,Aristotle and The Arabs, The Aristotelian Tradition in Islam,
(New York: New York University Press, 1968)
Seyyed
Hossein Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed),
(Bangung: Mizan,2003)
Thomas F
Wall, Thinking About Philosophical Problem, (Wadsworth: Thomas
Learning United States)
1 Nasution, falsafah dan
misticisme,hlm.12
[2]Seyyed
Hossein Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed),
(Bangung: Mizan,2003), p.210
[4]Dedi
Supriyadi,Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf dan Ajarannya,(Bandung:Pustaka
Setia,2009), p.56
[6]Lihat
Hamid Fahmi Zarkasyi,The Nature of God in Aristotle’s Natural
Theologi, p.40 dalam Jurnal Tsaqafah Vol. 4 No. 1 Zulqa’dah 1428
[7]Baca
al-Kindi A Muslim Peripatetic Philosopher, Handout for The Course of Islamic
Philosophy, First Pubished, 2006
[9]Baca
Seyyed Hossein Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed),
(Bangung: Mizan,2003)
[10]Lihat
Hamid Fahmi Zarkasyi,The Nature of God in Aristotle’s Natural
Theologi, dalam Jurnal Tsaqafah Vol. 4 No. 1 Zulqa’dah 1428 dan baca
MM Syarif (ed), Para Filosof Muslim, p. 215
[11]Baca
Seyyed Hossein Nasr&Oliver Leamen,Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (ed),
(Bandung: Mizan,2003), p. 219 dan MM Syarif (ed), Para Filosof Muslim, p.
215
Komentar