KERANGKA BERFIKIR IRFANI:
DASAR-DASAR FALSAFI AHWAL DAN MAQAMAT
BAB I
Pendahuluan
1. Latar Belakang
Sejarah tentang perkembangan pemikiran keislaman memiliki mata rantai yang
cukup panjang dan kajian atas persoalan ini pasti akan melibatkan kompleksitas,
namun sejalan dengan itu upaya penggalian informasi mengenai perkembangan
pemikiran keislaman melalui naskah-naskah yang dihasilkan oleh para ulama
terdahulu) menjadi sesuatu yang mutlak harus terus dilakukan, mengingat tema
yang terkandung dalam naskah-naskah tesebut pun sangat beragam dan diantara
tema yang banyak menarik perhatian para peneliti naskah adalah tentang tasawuf.
Tasawuf atau sufisme adalah istilah yang khusus dipakai untuk menggambarkan
mistisesme dalam Islam. Adapun tujuan tasawuf ialah memperoleh hubungan
langsung dan dekat dengan Tuhan. Dalam islam kita mengenal beberapa aliran
tasawuf, diantaranya aliran tasawuf Akhlaqi, Tasawuf Irfani dan Tasawuf
Falsafi.
Tinjauan terhadap tasawuf menunjukkan bagaimana para sufi memiliki suatu
konsepsi tentang jalan menuju Allah (thariqat). Jalan ini dimulai dengn
latihan-latihan rohaniah (riyadhah), lalu secara bertahap menempuh berbagai
fase yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dan hal (keadaan), yang berakhir
dengan ma’rifat kepada Allah.
2.
Rumusan Masalah
Dalam maklah ini, penulis merumuskan beberapa
persoalan, yaitu:
1. Apa saja maqamat yang dijalani kaum sufi ?
2. Ahwal apa saja yang dijumpai dalam perjalanan sufi ?
BAB II
PEMBAHASAN
B. Dasar-Dasar Falsafi Ahwal dan Maqamat
1. Pengertian Ahwal dan Mahqamat.
Yang
dimaksud dengan hal (jamak: ahwal) adalah keadaan atau kondisi
psikologis ketika seorang sufi mencapai tingkatan tertentu. Al-Qusyairi dalam
kitabnya Ar-Risalah Al-Qusyairiyah, berkata, “hal adalah makna yang datang
pada qalbu tanpa disengaja”. Hal diperoleh tanpa daya dan upaya, baik
dengan menari, bersedih hati, bersenang-senang, rasa tercekam, rasa rindu, rasa
gelisah, atau rasa harap. Dengan kata lain hal sama dengan bakat.[1]
Sedangkan maqam
(jamak; Maqamat) adalah tingkatan, artinya tingkatan seorang
hamba di hadapan-Nya.[2]
Dalam hal ibadah dan latihan-latihan (riyadhah) jiwa yang dilakukannya.
Dalam kalangan sufi, urutan maqam ini berbeda-beda.sebagian mereka merumuskan
maqam dengan sederhana seperti, tanpa qanaah, tawakal tidak akan
tercapai;tanpa tawakal , taslim tidak akan tercapai;
sebagaimana tanpa tobat, inabah tidak akan ada; tanpa wara’, zuhud
tidak akan ada. Sementara itu Al-Ghazali merumuskan maqam seperti
berikut ini: tobat, sabar, syukur, khauf dan raja’, tawakkal,
mahabbah, rida, ikhlas, muhasabah, dan muraqabah.
Al-kaladzi
menyebutkan adanya 10 maqam yang harus dilewati oleh para pejalan spiritual,
yaitu al-taubah, al zuhd, al-shabr, al-faqr, al-tawadhu’, al-taqwa,
al-tawakkul, al-ridha, al-mahabbah, dan al-ma’rifah.[3]
2. Maqam-Maqam Dalam Tasawuf
Seperti
disinggung diatas bahwa maqam (jamaknya maqamat) yang dijalani kaum sufi
umumnya terdiri dari tobat, zuhud, faqr, sabar, syukur, rela, dan tawakal.
a. Tobat
Tobat adalah
rasa penyesalan yang sungguh-sungguh dalam hati disertai permohonan ampun serta
meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa. Kebanyakan sufi menjadikan
tobat sebagai perhentian awal di jalan menuju Allah. Pada tingkat terendah ,
tobat menyangkut dosa yang dilakukan anggota-anggota badan. Pada tingkat
menengah, selain menyangkut dosa yang dilakukan jasad juga menyangkut pula
pangkal dosa-dosa, seperti iri, dengki, dan riya. Pada tingkat yang lebih
tinggi, tobat menyangkut usaha menjauhkan bujukan setan dan menyadarkan jiwa
akan rasa bersalah. Pada tingkat terakhir, tobat berarti penyesalan atas
kelengahan pikiran dalam mengingat Allah. Tobat pada tingkat ini adalah
penolakan terhadap segala sesuatu selain yang dapat memalingkan dari jalan
Allah.
b. Zuhud
Zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa
ketergantungan terhadap ketergantungan kehidupan duniawi dengan mengutamakan
kehidupan akhirat. Sampai dimana batas pelepasan diri dari rasa
ketergantungan itu ? Al-ghazali mengartikan zuhud sebagai sikap mengurangi
keterikatan pada dunia untuk kemudian menjauhinya dengan penuh kesadaran.
Al-Qusyairi mengartikan zuhud sebagai suatu sikap menerima rezeki yang
diterimanya. Hasan al-Bashri mengatakan zuhud adalah meninggalkan
kehidupan dunia, karena dunia ini tidak ubahnya seperti ular , licin apabila
dipegang, tetapi racunnya dapat membunuh.[4]
Dilihat dari
maksudnya, zuhud terbagi atas tiga tingkatan. Pertama, menjauhkan
dunia ini agar terhindar dari hukuman akhirat. Kedua, menjauhkan dunia dengan
menimbang imbalan di akhirat. Ketiga, mengucilkan dunia bukan karena takut atau
berharap, tetapi karena cinta kepada Allah. Orang yang berada pada
tingkat ketiga ini akan memandang segala sesuatu tidak ada arti apa-apa kecuali
Allah.
c. Faqr (Fakir)
Al-faqr adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa
puas dengan apa yang sudah dimiliki, sehingga tidak meminta sesuatu yang lain.
Pada prinsipnya, sikap mental faqr merupakan rentetan sikap zuhud.
Hanya saja zuhud lebih keras menghadapi kehidupan duniawi, sedangkan
fakir hanya pendisiplinan diri dalam mencari dan memanfaatkan fasilitas hidup.
Sikap fakir
selanjutnya akan memunculkan sikap wara’. Menrut para sufi, wara’ adalah
sikap berhati-hati ddalam menghadapi sesuatu yang kurang jelas masalahnya.
Apabila bertemu dengan satu persoalan yang tidak jelas hukumnya atau
tidak jelas asal-usulnya lebih baik untuk meninggalkannya.[5]
d. Sabar
Sabar ialah
tahan menderita, berhati-hati atau selectiva dalam bertindak.[6]
Sabar jika dipandang sebagai pengekangan tuntutan nafsu dan amarah, dinamakan
Al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa (ash-shabr an-nafs), sedangkan menahan
terhadap penyakit fisik disebut sebagai sabar badani (ash-shabr al-badani).
Kesabaran sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek. Misalnya untuk menahan nafsu
makan dan seks yang berlebihan.
Menurut
syekh ‘Abdul Qadir al-Jalani, sabar ada tiga macam, yaitu:[7]
1.
Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.
2.
Bersabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan
perbuatan-Nya terhadapmu, dari berbagai macam kesulitan dan musibah.
3.
Bersabar atas Allah, yaitu bersabar terhadap rezeki, jalan keluar, kkecukupan,
pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di hari akhirat.
e. Syukur
Syukur
adalah menerima nikmat dengan membesarkan Allah SWT[8].
Syukur diperlukkan karena semua yang kita lakukan dan miliki di dunia adalah
berkat karunia Allah. Menurut Syeikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani, hakikat syukur adalah
mengakui nikmat Allah karena Dialah Pemilik karunia dan pemberian sehingga hati
mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah, juga patuh kepada syariat-Nya.
Syeikh ‘Abdul Qadir Al-Jailani membagi syukur menjadi tiga macam, pertama
dengan lisan, yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang. Kedua,
syukur dengan badan dan anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan ibadah
sesuai dengan perintah-Nya. Ketiga,syukur dengan hati.
f. Rela (Rida)
Rida’ berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah
SWT. Orang yang rela mampu melihat hikmah dan kebaikan di balik cobaan yang
diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuan-Nya. Hanyalah para
ahli ma’rifat dan mahabbah yang mampu bersikap seperti ini.
Mereka bahkan merasakan musibah dan ujian sebagai suatu nikmat, lantaran
jiwanya bertemu dengan yang dicintainya.
Menurut
Abdul Halim Mahmud, rida mendorong manusia untuk berusaha sekuat tenaga
mencapai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Namun, sebelum mencapainya, ia
harus menerima dan merelakan akibatnya dengan cara apapun yang disukai Allah.
g. Tawakal
Hakikat tawakal
adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT, membersihkannya dari
ikhtiar yang keliru, dan tetap menapaki kawasan-kawasan hukum dan ketentuan. Tawakal
merupakan gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah.
Dalam hal ini, Al-Ghazali mengaitkan tawakal dengan tauhid, dengan penekanan
bahwa tauhid sangat berfungsi sebagai landasan tawakal.[9]
Tawakal
terbagi pada tiga derajat; tawakal, taslim, dan tafwidh. Orang yang bertawakal
merasa tentram dengan janji Rabb-nya. Orang yang taslim merasa cukup dengan
ilmu-Nya. Adapun pemilik tafwidh rida dengan hukum-Nya. Pendapat lainnya
tawakal adalah sifat orang-orang yang beriman, taslim adalah sifat para wali,
sedangkan tafwidh dalah sifat orang-orang mengesakan.
4. Ahwal Yang Dijumpai dalam Perjalanan Sufi
a. Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah
dan Muraqabah)
Waspada
dan Mawas Diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu,
ada sufi yang mengusapnya secara bersamaan.waspada dan mawas diri mmerupakan
dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukkan perasaan jasmaniyang berupa
kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah.[10]
Waspada
dapat diartikan meyakini Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan
rahasia dalam hati, yang membuat seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk
kepada Allah. Adapun Mawas diri adalah meneliti dengan cermat apakah
segala perbuatan sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yyang di
kehendaki-Nya.
b. Cinta (hubb)
Cinta adalah
aktifitas hati yang memunculkan pengaruh pada anggota tubuh dalam mengikuti dan
melaksanakan perintah orang yang dicinta, serta menjauhi dan menolak larangan
orang yang dicinta.[11]
Dalam
pandangan tasawuf, mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagai segenap kemuliaan
hal, seperti halnya tobat yang merupakan dasar bagi kemuliaan maqam. Karena
mahabbah pada dasarnya adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap
hal, kaum sufi menyebutnya sebagai anugerah-anugerah (muwahib). Mahabbah adalah
kecenderungan hati untuk memerhatikan keindahan atau kecantikan.
Berkenaan
dengan mahabbah, suhrawardi pernah mengatakan, “sesungguhnya, mahabbah adalah
suatu mata rantai keselarasan yang mengikat sang pecinta kepada kekasihnya;
suatu ketertarikan kepada kekasih, yang menarik sang pecinta kepadanya, dan
melenyapkan sesuatu dari wujudnya, sehingga pertama-tama ia menguasai seluruh
sifat dalam dirinya, kemudian menangkap zatnya dalam genggaman Qudrah (Allah).
c. Berharap dan
takut ( Raja’ ddan Khauf)
Raja’ atau
optimisme adalah perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang
diinginkan dan disenangi.
Raja’
menuntuttiga perkara, yaitu:
a.
Cinta kepada apa yang diharapkannya.
b.
Takut harapannya itu hilang.
c.
Berusaha untuk mencapainya.
Ahmad faridh
menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah untuk menggiring
hamba-hambanya menuju ilmu dan amal, supaya dengan keduanya itu mereka dapat
dekat kepada Allah. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu
yang ditakuti, yang akan menimpa diri pada masa ynag akan dating. Khauf dapat
mencegah hambba dari perbuatan maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada
dalam keataatan.
Kekurangan
khauf akan menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat, sedangkan
khauf yang berlebihan akan menjadikannya pesimis dan putus asa. Begitu juga
sebaliknya, terlalu besar sikap raja’ akan membuat seseorang sombong dan
meremehkan amalan-amalannya, karena optimisnya berlebihan.
d. Rindu (syauq)
Selama masih
ada cinta, syauq tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa, rasa rindu hidup dengan
subur, yakni rindu ingin segera bertemu dengan tuhan. Bagi sufi yang rindu
kepada tuhan, kematian dapat berarti bertemu dengan Tuhan, sebab hidup
merintangi pertemuan ‘abid dan ma’bud-Nya.[12]
Menurut
Al-Ghazali, kerinduan kepada Allah dapat dijelaskan melalui penjelasan tentang
keberadaan cinta kepada-Nya. Pada saat tidak ada, setiap yang dicintai pasti
dirindukan orang yang mencintainya. Kerinduan berarti menanti sesuatu yang
tidak ada.
e. Intim (Uns)
Dalam
pandangan kaum sufi, sifat Uns adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah
merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat uns.
“ada orang yang merasa sepi
dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya sebab sedang
dimabuk cinta, seperti halnya sepasang muda-mudi. Adapula orang yang merasa
bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau merencanakan
tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau selalu berteman dimanapun berada.
Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah, artinya engkau selalu berada
dalam pemeliharaan Allah.”
Ungkapan di
atas melukiskan keakraban seorang sufi dengan Tuhannya. Siikap keintiman ini
banyak dialami oleh kaum sufi.
5. METODE IRFANI
Dalam dunia
Tasawuf qalb merupakan pengetahuan tentang hakikat-hakikat, termasuk di
dalamnya hakikat ma’rifat. Qalb yang dapat memperoleh ma’rifat adalah yang
telah tersucikan dari berbagai noda atau akhlak yang jelek yang sering
dilakukan manusia. Qalb yang tersucikan akan mampu menembus alam malakut
(misalnya alam malaikat). Sebab, Al_Ghazali dalam kimiya’ As-Sa’adah-nya
memasukkan qalb sebagai sesuatu yang sejenis dengan malaikat. Ketika berada di
alam malakut inilah qalb mampu memperoleh ilmu pengetahuan dari Tuhan.
Tampaknya, kaum sufi memandang kesucian qalb sebagai prasyaratuntuk berdialog
secara batini dengan Tuhan, karena Tuhan hanya dapat didekati dengan jiwa yang
suci. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari kondisi inilah yang mereka sebut
sebagai Ilmu Ma’rifat, dan bahkan secara spesifik dapat memperoleh ilmu laduni,
yakni ilmu yang dating lewat ilham yang dibisikkan ke dalam hati manusia.[13]
Dengan
demikian, qalb berpotensi untuk berdialog dengan Tuhan. Iniilah yang dimaksud
Al-Ghazali dengan ungkapan diluar akal dan jiwa, terdapat alat yang dapat
menyingkap pengetahuan yang gaib dan hal-hal yang akan terjadi pada masa
mendatang. Penyingkapan pengetahuan seperti ini merupakan wacana ‘irfaniyah.
Hanya dengan saran qalb itulah, ilmu ma’rifat dapat diperoleh manusia.
Disamping
melalui tahapan-tahapan maqamat dan ahwal, untuk memperoleh ma’rifat, seseorang
harus melalui upaya-upaya tertentu. Upaya yang dimaksud antara lain sebagai
berikut.
a. Riyadhah
Riyadhah
adalah latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan
hal-hal yang dapat mengotori jiwanya. Riadhah dapat pula berarti proses
internalisasi kejiwaan dengan sifat-sifat terpuji dan melatih membiasakan
meninggalkan sifat-sifat jelek.
Riyadhah
harus disertai dengan mujahadah. Mujahadah yang dimaksudkan disini adalah
kesunnguhan dalam perjuangan meninggalkan sifat-sifat jelek. Perbedaan riyadhah
dengan mujahadah adalah kalau Riyadhah berupa tahapan-tahapan real, sedangkan
mujahadah berjuang menekan pada masin-masing riyadhah.
Riyadhah
perlu dilakukan karena imu ma’rifat dapat diperoleh melalui upaya melakukan
perbuatan kesalehan atau kebaikan yang terus-menerus. Dalam hal ini, riyadhah
berguna untuk menempa tubuh jasmani dan akal budiorang yang melakukan
latihan-latihan itu sehingga mmampu menangkap dan menerima komunikasi dari alam
ghaib (malakut) yang transcendental. Hal terpenting dalam riyadhah adalah
melatih jiwa melepaskkan keterrgantungan terhadap kelezatan duniawi yang
fatamorgana, lalu menghubungkan diri dengan realitas rohani dan Ilahi. Dengan
demikian, riyadhah akan mengantarkan seseorang selalu berada di bawah bayangan
Yang Kudus.
b. Tafakur
Tafakur
penting dilakukan oleh manusia yang menginginkan ma’rifat. Sebab, tatkala jiwa
telah belajar dan mengolah ilmu, lalu memikirkan (bertafakur) dan
menganalisanya, pintu kegaiban akan dibukakan untuknya. Menuurut Al-Ghazali
orang yang brfikir dengan benar akan menjadi dzawi al-albab (ilmuwan) yang
terbuka pintu kalbunya sehingga akan mendapat ilham.
Tafakur
belansung secara internal dengan proses pembelajaran dari dalam dari manusia
melalui aktivitas berpikir yang menggunakan perangkat batiniah (jiwa).
Selanjutnya tafakur dilakukan dengan memotensiikan nafs kulli (jiwa universal).
Validitas yang diperoleh melalui metode tafakur sangat tinggi kualitasnya.sebab
tafakur memotensikan nafs kulli (jiwa universal), sebagaimana yang diungkapkan
Al-Ghazali: “nafs kulli lebih besar dan lebih kuat hasilnya dan lebih besar
kemampuan perolehannya dalam proses pembelajaran.”
c. Tazkiyat An-Nafs
Tazkiyat
An-Nafs adalah proses penyucian jiwa manusia. Proses penyucian jiwa dalam
kerangka tasawuf in dapat dilakukan melalui tahapan takhalli dan tahalli.
Tazkiyat An-Nafs merupakan inti kegiatan bertasawuf.
Upaya
melakukan penyempuranaan jiwa perlu dilakukan oleh setiap orang yang
menginginkan ilmu ma’rifat. Ada lima hal yang menjadi penghalang bagi jiwa
dalan nnenangkap hakikat, yaitu: pertama, jiwa yang belum sempurna. Kedua, jiw
yang dikotori perbuatan-perbuatan maksiat. Ketiga, menururti keinginan badan.
Keempat, penutup yang menghalangi masuknya hakikat kedalam jiwa (taqlid).
Kelima, tidak dapat berpikir logis. Dibutuhkan pengembalian jiwa kepada
kesempurnaannya untuk menghilangkan penghalang itu.dalam konteks inilah,
penyempurnaan jiwa dapat dilakukan dengan tazkiyat an-nafs.
Tazkiyat
an-nafs dalam konsepsi tasawuf berdasar pada asumsi bahwa jiak manusia ibarat
cermin, sedangkan ilmu ibarat gambar-gambar objek material. Kegiatan mengetahui
sesungguhnya ibarat cermin yang menangkap gambar-ganbar. Banyaknya gambar yang
tertangkap dan jelasnya tangkapan bergantung pada kadar kebersihan cermin
bersangkutan. Dengan demikian, kesucian jiwa adalah syarat bagi masuknya
hakikat-hakikat atau ilmu ma’rifat ke dalam jiwa.
d. Dzikrullah
Secara
etimologi, dzikir adalah mengingat, sedangkan secara istilahadalah mambasahi
lidahb dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah. Dzikir merupakan metode lain
yang palin utama untuk memperoleh ilmu laduni.
Pentingnya
dzikir untuk mendapatkan ilmu ma’rifat didasarkan atas argumentasi tentang
peranan dzikir itu sendiri bagi hati. Al-Ghazali dalam Ihya’ menjelaskan bahwa
hati manusia tak ubahnya seperti kolam yang mengalir kedalamnya bermacam-macam
air. Pengaruh yang dating ke dalam hati adakalanya berasal dari luar, yaitu
pancaindra, dan adakalanya dari dalam, yaitu khayal, syahwat, amarah, dan
akhlak atau tabiat manusia.
Dalam
pandangan sufi, dzikir akan membuka tabir alam malakut, yakni denggan datangnya
malaikat. Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa dzikir merupakan
kesepakata alam ghaib, penarik kebaikan, penjinak was-was, dan pembuka
kewalian. Dzikir juga bermamfaat untuk membersihkan hati. Dalam Ihya’,
Al-Ghazali menjelaskan bahwa hati yang terang merupakan hasil dzikir kepada
Allah. Takwa merupakan pintu gerbang dzikir, sedangkan dzikir merupakan pintu
gerbang kasyaf (terbukanya hijab). Sedangkan kasyaf adalah pintu gerbang
kemenangan besar. Dzikir juga berfungsi untuk menghalangi setan dari hati
manusia. Pada saat itulah malaikat akan memberikan ilham ke dalam hati.
BAB III
KESIMPULAN
C. Kesimpulan
1.
Seorang sufi tidak begitu saja dekat dengan Tuhannya melainkan ia harus
menempuh beberapa maqam (tingkatan), diantaranya tobat, zuhud, faqr,
sabar, syukur, rela, dan tawakal.
2.
Ahwal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi antara lain adalah
waspada dan mawas diri, cinta, berharap dan takut, rindu, dan intim.
3.
Hati menjadi sarana untuk memperoleh ma’rifat, dan qalbulah yang akan
mengetahui hakikat pengetahuan, karena qalb telah dibbekali potensi untuk
berdialog dengan Tuhan.
Daftar Pustaka
Solihin, M dan Rosihon Anwar. 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka
Setia.
Haidar, bagir. 2003. Buku Saku Tasawuf. Bandung: arasy mizan.
As-Sayyid, Muhammad. 2003. Tasawuf dalam pandangan Al-quran dan
As-sunnah. Jakarta: Cendekia.
Syahrizal dan Taslim. 2005. Ilmu Tasawuf. Banda Aceh: PeNA.
Anwar, rosihan dan Mukhtar Solihin. 2004. Ilmu Tasawuf. Bandung:
Pustaka Setia.
[11] Muhammad
as-sayyid, tasawuf dalam pandangan al-quran dan as-sunnah (cendekia,
jakarta, 2003) hlm 76
Komentar