Tatacara Qunût
Dalam sehari semalam, seorang
mukalaf wajib mengerjakan salat sebanyak lima kali. Dari kelima salat itu,
salat subuh mempunyai ciri khas yang dapat membedakannya dari salat-salat yang
lain. Selain karena hanya dua rakaat, salat subuh mempunyai qunût yang dapat
membuatnya lebih istimewa dari yang lain.
Secara etimologi, qunût berakar dari
kata qanata yang berarti merendahkan diri pada Allah . Bisa juga berarti
berdoa, baik berdoa dengan kebaikan atau keburukan. Sedangkan secara
terminologi, qunût berarti sebuah zikir tertentu yang dibaca pada waktu
tertentu pula.
Ulama berbeda pendapat tentang
bentuk redaksi qunût. Ada yang mengatakan bahwa redaksi qunût itu hanya
tertentu dengan bacaan yang ma’tsûr (diriwayatkan) dari Nabi Shallallâhu
‘alaihi wasallam, dan ada yang mengatakan sebaliknya. Sedangkan manyoritas ulama
fikih berpendapat bahwa qunût tidak tertentu dengan yang ma’tsûr dari Nabi
Sallallâhu ‘alaihi wasallam, qunût juga bisa dengan membaca redaksi lain yang
mengandung doa seperti qunût-nya Sayidina Umar Radhiyallâhu ‘anhu.
Redaksi qunût yang disebutkan dalam
kitab-kitab fikih dapat diklasifikasikan menjadi dua macam. Pertama, qunût yang
ma’tsûr dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam, yaitu
Redaksi ini diriwayatkan oleh Imam
Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dari Sayyidina al-Hasan bin Ali1.
Kedua, qunût yang pernah dibaca oleh
Sayidina Umar Radhiyallâhu ‘anhu, yaitu:
اللَّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ
عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِيْ
فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ اِنَّكَ تَقْضِيْ
وَلَايُقْضَى عَلَيْكَ وَاِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلَا يَعِزُّ مَنْ
عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَا لَيْتَ
Di dalam qunût yang ma’tsûr dari
Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam, disunnahkan melanjutkannya dengan membaca
tsanâ’ (pujian) terhadap Allah Subhânahu wa ta‘âlâ dan dilanjutkan dengan
membaca salawat kepada Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam seperti yang
sudah lumrah dilakukan di kalangan masyarakat.
Di dalam pelaksanaannya, qunût tidak
boleh dibaca terlalu panjang seperti halnya pelaksanaan tahiyat pertama dan
akan menimbulkan hukum makruh bila dilaksanakan dengan terlalu panjang. Tapi,
ketika seseorang membaca qunût, dan dalam qunût tersebut dia menggabungkan
antara qunût yang ma’tsûr dari Nabi dengan qunût-nya sayyidina Umar Radhiyallâhu
‘anhu, maka qunût tersebut tidak dihukumi makruh. Qunût tersebut tetap dihukumi
sunah bagi orang yang salat sendirian, atau bagi seorang imam yang makmumnya
sedikit, sedangkan mereka rela dengan bacaan imamnya yang dipanjangkan.
Sedangkan tata cara membaca qunût
itu sendiri, apabila yang membaca adalah orang yang salat sendirian, maka
bacaan qunût harus dibaca secara pelan. Dan bagi seorang imam, bacaan qunût
boleh dibaca pelan dan boleh dibaca keras. Sedangkan bagi makmum, apabila
imamnya membaca dengan keras, maka dia membaca “amin”, dan apabila imamnya
membaca dengan pelan, maka dia boleh memilih antara membaca qunût sendiri atau
diam. Tapi menurut pendapat yang lebih sahih (qaul ashah), apabila bacaan imam
berupa do’a, maka makmum harus memaca “amin”, dan bila berupa tsanâ (pujian),
maka makmum boleh memilih antara membaca tsanâ seperti halnya imam atau diam.
Dari sisi lain, qunût juga bisa
dibagi menjadi dua, yaitu : qunût râtib dan qunût nâzilah. Qunût râtib adalah
qunût yang dilaksanakan pada waktu salat subuh dan di rakaat terakhir salat
witir diseparuh kedua bulan Ramadhan.
Qunût râtib ini termasuk diantara
sunnah ab’adh-nya salat, bila lupa tidak dikerjakan maka disunnahkan sujud
sahwi. Meninggalkan sebagian dari qunût râtib ini sama halnya dengan
meninggalkan kesemuanya qunut. Jadi, orang yang tidak membaca qunût ini dengan
sempurna, atau mengganti sebagian kalimat dengan kalimat yang lain, seperti
mengganti huruf “ fî “ dengan “ma’a” dalam lafadz “fî man hadaita”, maka orang
tersebut sama halnya dengan tidak mengerjakannya sama sekali dan disunnahkan
baginya untuk mengganti qunût tersebut dengan sujud sahwi. Sama dengan
permasalahan diatas yaitu, bila ada orang yang membaca sebagian qunût, lalu
melanjutkannya dengan qunût yang lain yang tidak sama dengan qunût yang
pertama, seperti membaca sebagian qunut yang ma’sur dari Nabi Shallallâhu
‘alaihi wasallam lalu melanjutkannya dengan sebagian qunutnya Sayyidina Umar
Radhiyallâhu ‘anhu, maka orang tersebut juga disunnahkan menggantinya dengan
sujud sahwi, karna orang tersebut tidak membaca satu qûnut-pun dengan sempurna.
Sedangkan yang dinamakan qunût
nâzilah adalah qunût yang dilaksanakan karna ada bencana yang menyusahkan umat
islam, seperti terjadi badai, kebakaran, murtadnya mayoritas umat islam atau
negara islam sedang diserang musuh. Maka, apabila ada kejadian seperti itu,
disunnahkan bagi umat islam yang lain untuk qunût setelah ruku’ di rakaat yang
terakhir dalam semua salat maktûbah (salat fardlu) untuk mendo’akan orang
muslim yang lain yang tertimpa musibah.
Qunût nâzilah ini pernah dilakukan
oleh Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam selama satu bulan untuk mendo’akan para
sahabat yang terbunuh dalam peristiwa sumur mu’nah. Jadi, hukum mengerjakan
qunût ini adalah sunnah ketika ada musibah yang menimpa umat islam dengan dasar
mengikuti langkah perbuatan Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam.
Dalam kesunnahan qunût nâzilah ini,
apabila lupa tidak dikerjakan atau satu kalimat diganti dengan kalimat yang
lain, maka tidak disunnahkan untuk menggantinya dengan sujud sahwi, karna
kesunnahan qunût nâzilah ini adalah dzâtiyah dari qunût itu sendiri, tanpa ada
sangkut pautnya dengan salat yang dikerjakan.
Untuk lafal-lafal yang digunakan
dalam qunût nâzilah ini, sama dengan lafadz-lafadz yang digunakan didalam qunût
râtib. Tapi, ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa lafadz-lafadz qunût
nâzilah lebih baik disesuaikan dengan peristiwa yang menimpa kaum muslimin dan
ini lebib baik dari pada membaca qunut yang biasa dibaca dalam qunût râtib.
Jadi, apabila kejadian yang menimpa kaum muslimin berupa bencana gempa bumi,
maka, sebaiknya para korban dido’akan dengan doa-doa yang dapat meringankan
penderitaan mereka.[]
Catatan akhir
1. Lihat:
Sunan Abi Daud, vol 4 hal. 210 no. Hadis 1214, Sunan at-Tirmidzi, vol.2 hal.274
no. Hadis 426, Sunan an-Nasa’i, vol. 6 hal. 258 no.Hadis 1725.
2. Hâsyiah
al-Baijuri li Syaikh Ibrahim al-Baijuri, vol. 1 hal.312-314
3. *Raudlah
at-Thâlibîn, vol.1 hal.253-254
4. Nihâyah
al-Muhtâj, vol.2 hal. 67
5. Mughni
al-Muhtâj, vol.1 hal. 168
Sumber: Buletin Pondok Pesantren
Sidogiri
Komentar